Jakarta, Gatra.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta penyidik Polda Metro Jaya memproses hukum 11 tersangka atas kasus pemalsuan 5.041 sertifikat keterampilan pelaut yang dibuat dengan akses ilegal ke website Kementerian Perhubungan.
LPSK berpandangan, tindakan itu tidak sebatas pada pemalsuan, atau Undang-Undang ITE karena melakukan akses ilegal saja, tetapi juga mengaitkannya dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sebab, pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara para pelaku TPPO mempermudah para korban untuk dipekerjakan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan. Korban dijanjikan pekerjaan legal, majikan yang baik dan penghasilan yang cukup. Bahkan, bagi keluarga korban, perekrut memberikan sejumlah uang tali asih.
“Mereka (korban) kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” kata Edwin melalui keterangan resminya kepada Gatra.com, Minggu (27/6).
Ia melanjutkan, praktik perdagangan orang sektor perikanan, dalam konteks ini ABK, biasanya melibatkan dua pihak, yaitu penyalur dan perusahaan atau kapal penerimanya.
Penyalur bertugas melakukan perekrutan, penyiapan dokumen, perjanjian kerja, dan pengiriman para ABK ini ke negara tujuan. Sementara perusahaan atau kapal penangkap ikan merupakan milik warga negara asing.
Edwin menyebut, selain orang perorangan, korporasi, kelompok terorganisir dan/atau penyelenggara, negara juga dapat dijerat sebagai pelaku TPPO.
“Perbudakan pada sektor perikanan ini melibatkan banyak negara sehingga masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara (transnational crime),” ujar Edwin.
Edwin mengungkapkan, data LPSK sepanjang 2015-2019 menunjukkan, ada 122 korban TPPO yang dibekali dokumen palsu. Khusus ABK sektor perikanan, LPSK telah memberikan perlindungan kepada 232 korban mulai dari tahun 2013-Juni 2020.
“Angka ini bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban peristiwa serupa,” ujarnya.
Ia menambahkan, korban TPPO mendapatkan atensi khusus dari LPSK karena merupakan 1 dari 8 tindak pidana prioritas yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 2018, terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung pada 2019. Angka demikian menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK, setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM yang berat di tahun 2019.
Senada dengan Edwin, Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo mengatakan, korban TPPO yang menjadi terlindung LPSK berasal dari berbagai profesi, jenis kelamin dan usia, termasuk anak. Mereka ada yang bekerja sebagai pekerja hiburan, nikah kontrak, pekerja seks komersil, perkebunan, penjualan organ tubuh, ABK dan lainya, yang terjadi di dalam dan luar negeri.
“LPSK siap bekerja sama dengan Polri untuk mengkaji keterkaitan antara pemalsuan sertifikat pelaut dengan kasus-kasus TPPO sektor perikanan lain, yang korbannya menjadi terlindung LPSK,” kata Antonius.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya bersama tim Satgas Kementerian Perhubungan berhasil menangkap 11 orang yang diduga memalsukan 5.041 sertifikat keterampilan pelaut. Dalam aksinya para tersangka melakukan akses ilegal terhadap website resmi Kementerian Perhubungan.
Pengungkapan kasus ini diawali dari beberapa kasus yang menimpa anak buah kapal (ABK) Indonesia, termasuk dua ABK Indonesia yang loncat dari Kapal Lu Qing Yuan Yu berbendera RRT di Perairan Batam karena mendapat perlakuan buruk, kekerasan fisik dan gajinya tidak dibayar.