Yogyakarta, Gatra.com - Pernyataan sikap sejumlah perguruan tinggi dan akademisi dalam merespons Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menunjukkan pertentangan. Akademisi diajak mencari dan memahami maksud utama penyusun RUU ini.
Demikian pernyataan Pusat Studi Pancasila Uiversitas Gadjah Mada (PSP UGM) dalam menanggapi kajian sejumlah kampus tentang RUU HIP.
“Para akademisi hendaknya tidak mengeluarkan pernyataan yang terlalu tergesa gesa dan ceroboh, tanpa dukungan bukti atau informasi yang lebih lengkap, relevan, dan pertimbangan perspektif yang luas,” ujar Kepala PSP UGM Agus Wahyudi lewat pernyataan tertulis yang diterima Gatra.com, Minggu (28/6).
Sebelumnya beberapa akademisi dan kampus merilis kajian dan pernyataan sikap soal RUU HIP. Mereka antara lain PSP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Forum Pusat Kajian Pancasila dan Kebangsaan (FPKPK) Se-Indonesia, Dewan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI), dan Paguyuban Profesor LLDIKTI Wilayah IV.
Pernyataan FPKPK misalnya yang mengusulkan agar pembahasan RUU HIP tak dilanjutkan. PSP UGM menilai pernyataan tersebut tak dilandasi kajian lengkap tapi hanya mengikuti polemik publik. Adapun penolakan AP3KnI atas RUU HIP dianggap terlalu dini karena pendefinisian Pancasila tak konsisten.
PSP UGM menilai pernyataan para akademisi itu memiliki berbagai sudut pandang. Antara lain menegaskan pentingnya pengarusutamaan mufakat atas berbagai kepentingan dan kelompok dalam pembahasan RUU HIP secara lebih partisipatif dan transparan. Ada pula sekadar penolakan tanpa memberikan jalan keluar.
“Partisipasi publik dan peran mereka sendiri sebagai akademisi menjadi penting dalam memberikan masukan dan perbaikan ke arah usaha mendapatkan titik temu demi penguatan pengamalan Pancasila,” kata Agus.
Menurut Agus, penataan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi alasan utama lahirnya RUU HIP. Tujuan utama RUU HIP adalah kebutuhan memperkuat Pancasila dan memperkuat lembaga pelaksana Pancasila yang semula diatur lewat peraturan presiden menjadi undang-undang.
“Namun cara berpikir yang membentuk isi dan pasal pasal RUU HIP nampaknya perlu diganti (overhaul), atau ditingkatkan (upgrade), melalui proses atau tata acara aturan demokrasi yang semakin kuat dan terpercaya,” katanya.
Agus berkata, pernyataan para akademisi tersebut menunjukkan perbedaan penilaian, bahkan saling bertentangan. “Karena kemungkinan bias perspektif dan bias dalam menyeleksi bukti-bukti atau argumen pendukung, kesimpulan mereka dapat selalu dipertanyakan ulang dan tidak dapat dianggap sebagai kesimpulan yang pasti,” tuturnya.
Agus menekankan perlunya usaha bersama dalam memahami persoalan-persoalan dasar RUU HIP berdasarkan analisis yang kritis dan cermat. “Ini harus dilakukan sejak initial intent (maksud utama) para penyusun naskah akademik dan RUU HIP,” kata dia.