Home Politik Toleransi NU Dianggap Mitos, Ini Bahasan dan Kritiknya

Toleransi NU Dianggap Mitos, Ini Bahasan dan Kritiknya

Yogyakarta, Gatra.com - Paham dan sikap toleran ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dipertanyakan karena riset terbaru menunjukkan intoleransi oleh kalangan NU juga tinggi. Hasil riset ini memantik kritik, tapi juga menggambarkan kesenjangan pandangan antara elit dan massa suatu ormas di Indonesia.

Hal ini mengemuka dalam diskusi daring ‘Toleransi dan Pluralisme dalam NU: Mitos atau Realitas?’, Sabtu (27/6). Diskusi ini diadakan Forum Sintesa, komunitas bentukan alumni pers mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Yogyakarta.

Diskusi bertolak dari hasil riset terbaru Burhanuddin Muhtadi dan Marcus Mietzner, ‘The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia’.

Saat diskusi, Burhan memaparkan riset tersebut bagian dari upaya memotret toleransi kelompok Islam sebelum dan setelah ajang 212, yakni demo besar pada politisi Basuki Tjahaja Purnama yang dinilai menodai Islam.

Riset pada 2018-2019 ini menyebut angka intoleransi di kalangan NU relatif tinggi, terutama dalam isu politik dan religius, misalnya ketidaksetujuan atas kepala daerah non-Islam dan pembangunan tempat ibadah agama non-Islam.

“Selama ini ada asumsi intoleransi itu out-group (kelompok di luar NU), bukan in-group (dalam NU),” ujar dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini.

Hasil riset ini sempat mengejutkan dirinya yang juga berlatar belakang NU. Namun riset sebelumnya pada 2016-2017 menunjukkan kecenderungan senada. Padahal banyak peneliti, terutama Indonesianis atau ilmuwan asing yang menjadi pemerhati Indonesia, menganggap NU tulang punggung toleransi di Indonesia.

“Warga NU tidak setoleran yang banyak ilmuwan bayangkan. Kami tak menemukan NU menjadi lebih toleran ketimbang (ormas Islam) yang lain. Ini yang kami sebut mitos,” ujarnya.

Burhan menandaskan, jumlah kalangan NU yang toleran masih tetap besar. Apalagi ada variasi hasil riset dari sisi wilayah. Contohnya, NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih toleran ketimbang NU di Jawa Barat dan Banten. “Ada perbedaan juga antara anggota aktif dan sekadar merasa dekat dengan kultur NU,” kata dia.

Burhan menilai, kampanye toleransi NU lebih besar pada tatar politik. Ia membandingkan, dukungan NU pada kelompok-kelompok yang dinilai intoleran, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), cenderung menurun.

Namun hal itu tidak lantas membuat dukungan NU pada isu-isu toleransi lain yang lebih penting, seperti pembangunan rumah ibadah non-muslim, meningkat.

“Intoleransi pada warga non-muslim tetap tinggi termasuk di warga NU. Kalau substantif, intoleransi pada isu krusial juga turun. Muncul tafsir, agenda politik membuat toleransi NU yang lebih orisinial jadi agak terabaikan,” tuturnya.

Dosen sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Achmad Uzair, keberatan atas tafsir dan narasi politis yang melatari pandangan toleran NU. Ia mengkritik paparan riset yang menyebut bahwa elit NU memiliki kepentingan politik dan materi dalam mengembangkan sikap toleran.

“Elit dinarasikan bekerja untuk kepentingan material, bukan untuk kepentingan pluralisme. Masalahnya, ada fase historis NU yang tak disebut,” kata dia sambil mencontohkan sikap Abdurahman Wahid atau Gus Dur bersedia mundur sebagai presiden saat dilengserkan.

Menurut Uzair, riset ini tidak menggali lebih jauh pandangan anggota aktif NU dan menjelaskan efektivitas kampanye toleransi NU. “Kita perlu memeriksa tulisan (riset) ini lebih dalam lagi karena banyak hal tidak cukup dikejar secara kritis,” katanya.

Sebagai penanggap, dosen sosiologi Fisipol UGM Najib Azca menyebut temuan riset ini berbasis data yang solid, meski bukan hal yang baru. Pada 2015, riset lain menyatakan NU memegang prinsip toleran tanpa menjadi liberal.

Najib menilai riset ini dapat menjadi gambaran umum banyak ormas di Indonesia yang memiliki kesenjangan antara pemahaman elit dan basis massa. Dengan demikian, sikap dan paham toleransi yang kuat di elit NU tak serta merta terjadi di akar rumput dan pendukung ormas itu.

“Ada variasi pandangan antara core (inti) NU, member (anggota), dan follower (pendukung). Seringkali elit dan massa enggak nyambung. Ada ketimpangan dan diskoneksi. Elit tak serius menggarap basis massa di bawah,” tuturnya.

Azca juga melihat riset ini memang menyakitkan bagi kalangan NU karena dianalisis dari aspek ekonomi politik, sehingga upaya genuine NU dalam meretas toleransi seakan diabaikan. “Perspektif ekonomi politik ini pandangan kritis dan sensitif. Tapi ini kritik penting,” ujar dia seraya mendorong riset ini dijawab dengan riset lain.

3684