Jakarta, Gatra.com - Petinggi Ormas Islam Nahdlatul Wathan, Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) mengatakan, pemberian wewenang kepada ormas Islam untuk menetapkan kehalalan suatu produk merupakan sebuah terobosan hukum yang patut diapresiasi.
Meski lanjut TGB, ada tiga kaidah yang patut diperhatikan oleh lembaga manapun yang nantinya mendapatkan wewenang tersebut.
Yakni, pertama, kaidah kepastian.
"Sertifikasi itu harus bisa diterima oleh semua. Tidak menyebabkan UMKM harus melakukan sertifikasi lain karena lembaga ini bermasalah. Perlu kepastian," kata TGB, Jumat (26/6).
Kedua, lanjut TGB bahwa kaidah efisiensi. Tidak boleh sertifikasi membangun struktur pembiayaan baru yang justru menyulitkan UMKM.
Ketiga, kata TGB, siapapun yang diberikan kewenangan, harus memanfaatkan infrasturktur laboratorium dan fasilitas yang ada di setiap daerah. Hal ini dinaksudkan untuk memangkas biaya yang muncul dalam proses sertifikasi.
"Karena kita punya banyak fasilitas untuk itu," kata TGB.
"Misalnya ormas Islam yang diberikan kewenangan. Di daerah ada laboratorium kesehatan yang bisa ikut di dalam proses sertifikasi. Pemberian kewenangan ini harus dibarengi dengan pemanfaatan semua infrastruktur yang ada di daerah sehingga nanti biayanya tidak besar," tambah TGB.
Selain memenuhi tiga kaidah di atas, mantan Gubernur NTB ini mendorong agar pemerintah mengalokasikan dana bantuan UMKM untuk melakukan sertifikasi halal.
TGB mengatakan, hal serupa telah dia lakukan saat meluncurlan Lombok sebagai destinasi pariwisata halal.
Salah satu yang dilakukan adalah sertifikasi besar-besaran. Saat itu, daerah yang mengeluarkan dana melalui APBD. Pemda membuat kontrak dengan BPOM. Dengan dana tertentu, kewajiban BPOM adalah mensertifikasi semua UMKM yang ada di NTB.
"Menurut saya, tidak ada salahnya jika negara memberikan pendanaan di awal ini karena banyak UMKM yang belum punya kemampuan untuk melakukan sertifikasi secara mandiri. Itu bisa meminimalisir kesulitan yang timbul akibat sertifikasi," ucap TGB.
Diketahui dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja nantinya akan mengatur kemudahan penetapan halal produk. Bila selama ini penetapan kehalalan produk dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada pasal 33 draf RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang sama kepada organisasi masyarakat (Ormas) Islam berbadan hukum.