Yogyakarta, Gatra.com - Kalangan buruh menolak kebijakan perpanjangan status tanggap darurat Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta hingga 31 Juli 2020. Kebijakan itu dirasa semakin menyulitkan mereka mendapat pekerjaan dan tidak memberi banyak manfaat.
Penolakan ini disampaikan Aliansi Buruh Jogja (Burjo) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI DIY) saat beraudensi dengan DPRD DIY, Jumat (26/6).
"Perpanjangan status tanggap darurat sampai Juli nanti tidak memberi solusi pada permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya kami para buruh. 38 ribu buruh dan pekerja sektor informal saat ini membutuhkan pekerjaan karena dirumahkan dan bahkan di-PHK," kata Ketua KSBSI DIY Dani Eko Wiyono.
Dani menilai perpanjangan status tanggap darurat akan berdampak besar pada ekonomi. Menurut dia, jika tak ada solusi lain, tidak akan ada lapangan pekerjaan.
"Kebijakan perpanjangan ini bentuk ketakutan politis saja. Mestinya dipikirkan solusi lainnya, bagaimana pemulihan ekonomi agar buruh dan pekerja mendapatkan penghasilan," ujarnya.
Koordinator Burjo Faizal Ma'ruf menyatakan para buruh dan tenaga kerja informal tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan prosedur penerapan normal baru oleh Pemda DIY. Padahal buruh menjadi salah satu profesi yang terdampak pandemi Covid-19.
"Sampai hari ini kami tidak pernah mendapatkan surat undangan, baik melalui email maupun surat resmi. Tidak ada tanggapan dari pemda DIY," ujarnya.
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana menjelaskan program pemulihan ekonomi harus dilakukan secara massif dan sesegera mungkin oleh Pemda DIY.
"Perpanjangan status tanggap darurat memang penting, tapi jangan sampai terlena dengan isu normal baru. Saat ini sektor perekonomian membutuhkan perhatian segera. Jika tahap-tahap pemulihan dilakukan terlambat, ekonomi akan semakin terpuruk," ujarnya.
Menurutnya, dengan terbatasnya anggaran, Pemda DIY diminta memilih sektor-sektor prioritas dan melibatkan semua pemangku kepentingan agar tumbuh kreativitas dan solidaritas menghadapi pandemi.