Home Ekonomi Mencoba Bangkit Setelah Terpuruk

Mencoba Bangkit Setelah Terpuruk

Pariwisata kembali berbenah dalam era Normal Baru. Bali, Yogyakarta dan Kepulauan Riau akan menjadi percontohan destinasi wisata yang akan dibuka pada tahap awal. Sejauh apa kesiapan industri pariwisata dan pemerintah daerah dalam menjalankan roda usaha pasca-pandemi?

Jakarta, GATRAreview.com -Pariwisata harus segera berselancar! Optimisme itu disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Wishnutama Kusubandio. Ia mematok target pada 2021 pariwisata bisa rebound secara bertahap (staging) setelah melewati masa pandemi Covid-19. Tahun ini, kata Wishnutama, potensi devisa dari sektor pariwisata bisa tergerus separuh dari tahun lalu yang besarannya US$20 miliar.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurutnya, pandemi Covid-19 mengancam 13 juta pekerja di sektor pariwisata. Pasalnya, kunjungan wisatawan ke Tanah Air terus mengalami kelesuan. Mantan CEO NET TV itu mengatakan, bila tahun lalu Indonesia dikunjungi 16 juta wisatawan, tahun ini diperkirakan jumlahnya hanya 5 jutaan wisatawan. “Mungkin tahun ini bisa sekitar separuhnya, bahkan lebih dari separuhnya, kehilangan devisa daripada pariwisata. Tergantung kapan berhentinya,” kata Wishnutama dalam keterangannya kepada wartawan, pertengahan April lalu.

Penurunan kunjungan tersebut jelas berdampak pada potensi penerimaan negara. Wishnutama menyebut, kebijakan di era normal baru bisa mengangkat kembali sektor pariwisata yang tengah terpuruk. “Itu kita bisa hitung sendiri [kerugiannya] kalau kira-kira masing-masing sekitar US$1.200 ASPA-nya atau average spending per arrival,” ujarnya.

Menparekraf menyampaikan arahan dari Presiden Joko Widodo agar sektor pariwisata perlahan dimulai aktivitasnya mengikuti protokol kesehatan. “Di Danau Toba, misalnya, pada saat Juni sudah selesai ya kita langsung jalan. Justru saat ini kita manfaatkan kesempatan untuk meredesain. Arahan Bapak Presiden untuk meredesain bagaimana pariwisata yang lebih baik ke depan,” katanya.

Selain itu, pemerintah melalui Kemenparekraf mengalokasikan anggaran sebesar Rp500 miliar untuk sektor pariwisata. Wishnutama menyebutkan, anggaran itu hanya untuk masa tanggap darurat untuk kesiapan hotel, layanan transportasi, tenaga medis, dan lainnya. Di masa pandemi Covid-19, layanan hotel harus merujuk pada kesehatan dan keselamatan pengunjung.

“Karena protokol kesehatan dari kemenkes maupun dari WHO itu harus tetap dipenuhi oleh hotel-hotel tersebut. Bukan cuma sekadarnya,” ucapnya. Wishnutama mengatakan, persiapan skema normal baru akan melewati beberapa tahapan mulai dari simulasi, sosialisasi dan publikasi, serta uji coba.

Keseluruhan skema itu terangkum dalam program Cleanliness, Health and Safety (CHS) yang digagas Kemenparekraf, yang akan diterapkan di berbagai destinasi wisata Tanah Air. Tujuan utama CHS tidak hanya menyiapkan destinasi yang baik sesuai dengan standardisasi kebutuhan wisatawan, melainkan juga menerapkan disiplin bagi masyarakat.

“Pelaksanaan tahapan-tahapan ini harus diawasi dengan ketat dan disiplin serta mempertimbangkan kesiapan daerah,” kata Wishnutama dalam keterangan tertulis kepada wartawan Gatra review Dwi Reka Barokah. Pembukaan destinasi wisata, menurutnya, tidak akan dilakukan serentak, melainkan bertahap dengan melihat kondisi epidemiologis serta kesiapan tiap-tiap daerah. “Kami telah melakukan koordinasi dengan beberapa kepala daerah yang wilayahnya berpotensi untuk dapat memulai penerapan protokol ini,” ucapnya.

Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kemenparekraf Ari Juliano Gema menambahkan, program CHS rencananya lebih dulu dijalankan di Bali, Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Penerapan CHS akan dimulai di lima destinasi wisata super prioritas, yakni: Borobudur, Danau Toba, Labuan Bajo, Likupang, dan Mandalika. Beberapa faktor yang diperhatikan dalam CHS yakni kebersihan tempat wisata, barang publik, ketersediaan sarana cuci tangan dengan sabun, tempat sampah bersih dan lainnya. Program CHS di tempat wisata berkoordinasi antara pengelola destinasi dengan Satgas Covid-19 daerah dan rumah sakit.

Selain pemeriksaan suhu tubuh secara rutin, beberapa protokol yang digencarkan antara lain: gerakan memakai masker, menerapkan etika batuk dan bersin termasuk menghindari berjabatan tangan, serta penanganan bagi pengunjung dengan gangguan kesehatan ketika beraktivitas di lokasi.

Selanjutnya pengelolaan pengunjung, pengaturan jumlah kerumunan, pengaturan jarak antar individu, penanganan pengamanan, media dan mekanisme komunikasi penanganan kondisi darurat juga diatur dalam program tersebut.

Ari mengatakan penerapan program CHS dan tatanan normal baru akan melibatkan unsur TNI dan Polri untuk pengawasan. TNI-Polri juga akan ditempatkan di objek-objek keramaian seperti: mal, pasar, dan tempat pariwisata yang memungkinkan terjadinya kerumunan. “Ini merupakan bagian dari langkah untuk memastikan kesiapan masyarakat menjalankan kenormalan baru yang akan menggerakkan perekonomian nasional termasuk di dalamnya pariwisata dan ekonomi kreatif,” katanya.

Selain itu, Kemenparekraf juga mendorong agar pemerintah daerah (Pemda) bisa meringankan pajak hotel dan restoran. Pemda juga diharapkan bersedia meringankan biaya sewa aset-aset daerah yang digunakan pengusaha pariwisata. “Kita minta kepada Kemendagri supaya menginstruksikan atau mengimbau kepada pemda untuk mengurangi pungutan itu,” katanya.

Bali & Yogyakarta sebagai Percontohan

(Gatrareview/Anas Priyo/nhi)

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, I Putu Astawa mengatakan pihaknya menyambut baik diberlakukannya kebijakan normal baru untuk pariwisata Bali. Kesiapan protokol baru di industri pariwisata menurutnya akan menjadi “amunisi” bagi Pulau Dewata memerangi Covid-19.

“Sebelumnya kami juga telah melakukan rapat guna membahas konsep protokol menghadapi new normal. Bukan hanya buat pariwisata akan tetapi untuk seluruh masyarakat Bali, namanya Protokol Tatanan Kehidupan Bali Era Baru,” ujar I Putu Astawa ketika ditemui wartawan Gatra review A.A. Gede Agung di Denpasar, awal Juni lalu.

Dirinya mengatakan, protokol tentang CHS disusun oleh Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Bali (BARI), yang pedoman lengkapnya akan diserahkan kepada Gubernur Bali. “Entah itu berupa edaran terlebih dahulu. Kemudian baru kita sosialisasikan kepada seluruh stakeholder pariwisata. Kemudian baru dijadikan sebagai pegangan. Jadi, protokol yang kita susun adalah protokol yang sifatnya [standar] minimum, dengan harapan nantinya secara spesifik diterapkan oleh industri pariwisata kita,” ujarnya.

Putu mengatakan, pengaturan detail akan disesuaikan dengan kultur masyarakat Bali. Pedoman umum yang digunakan dalam CHS, antara lain, penggunaan masker, pengukuran suhu tubuh, menjaga kebersihan, penggunaan disinfektan, serta higiene makanan yang disajikan pelaku wisata.

Tak kalah penting, protokol juga akan mempersempit kontak penularan virus Covid-19 yang mungkin terjadi antara wisatawan dengan pelaku wisata. Sehingga wisatawan diharapkan tidak sampai menularkan virus ke pekerja. Begitu juga sebaliknya wisatawan aman dilayani pekerja pariwisata di Bali.

Sebelumnya Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, menyatakan penyusunan protokol kesehatan sangat penting agar wisatawan yang datang ke Bali merasa aman dan nyaman. “Jika nantinya pemerintah pusat sudah mengizinkan Bali kembali dibuka sebagai destinasi pariwisata, maka Pemprov Bali tidak akan membuka semua tempat-tempat wisata melainkan dibuka secara bertahap,” ujarnya dalam keterangan di Denpasar Bali, pada 27 Mei 2020. Tjokorda mengatakan daya tarik wisata di Bali selama ini 65% berasal dari budaya, 30% alam dan wisata buatan 5%. Dengan adanya pandemi ini, pemerintah akan mengedepankan daya tarik wisata alam, dimana di dalam wisata alam juga terdapat khazanah budaya yang dapat memikat minat wisatawan.

Selain Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga bersiap menerapkan normal baru di sektor pariwisata. Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Rahardjo menjelaskan saat ini pihaknya dan asosiasi pariwisata DIY sedang merampungkan protokol CHS untuk tujuan-tujuan wisata. “Kami tidak hanya memperhatikan aspek health saja tapi juga kebersihan dan keamanan. Minggu ini target selesai. Minggu depan simulasi untuk memastikan SOP dan protokol itu dilaksanakan. Evaluasi ini supaya wisatawan, pengelola, masyarakat, dan ekosistem wisata melaksanakan dengan baik,” kata Singgih saat dihubungi Gatra review pada 4 Juni 2020.

Menurut Singgih, pariwisata telah menjadi ekosistem di DIY karena juga menyangkut sejumlah sektor lain seperti transportasi, hotel, dan biro perjalanan. “Sesuai kata Gubernur DIY, tidak perlu tergesa-gesa tapi laksanakan dengan matang,” ujarnya. Sebab menurutnya persiapan protokol normal baru bukan menyangkut aspek fisik saja seperti fasilitas cuci tangan tetapi juga aspek SDM dari pengelola, masyarakat, dan wisatawannya. “Kalau sudah siap, akan ada rekomendasi dari Gugus Tugas Covid-19,” tuturnya.

Dalam program CHS, destinasi wisata wajib menyiapkan dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarananya pasca pandemi Covid-19. Aspek safety dan hygiene kini menjadi prioritas. “Dulu sanitasi jorok sekarang harus bagus dan bersih. Dulu tak ada tempat sampah tertutup, sekarang wajib,” kata dia. Setelah fasilitas dan SDM rampung, simulasi pembukaan pariwisata akan digelar di sejumlah destinasi. “Simulasi ini untuk memastikan SOP jadi dan diimplementasikan sekaligus evaluasi dan uji coba pada minggu ketiga dan keempat Juni,” ujarnya.

Sesuai hasil rapat koordinasi pemerintah daerah, sejumlah tujuan wisata di DIY dinyatakan siap melakukan simulasi protokol normal baru. Beberapa destinasi wisata yang dibuka antara lain: gunung api purba Nglanggaeran, wisata susur sungai bawah tanah Kalisuci, dan Pantai Baron di Gunungkidul, wahana edukasi Taman Pintar dan kebun binatang GL Zoo di Kota Yogyakarta serta wisata alam Kaliurang di Sleman. “Kalau ini siap akan direplikasi di destinasi lain. Pembatasan jumlah pengunjung, jaga jarak, dan jam operasionalnya akan didiskusikan,” ujar Singgih. Menurutnya protokol paling wajib dan tak boleh ditawar adalah pemakaian masker, tersedianya fasilitas dan aktivitas cuci tangan, serta jaga jarak. “Kalau ada warung, pastikan juga jaga jarak, peralatan dan pengolahannya higienis.”

Sebelumnya sejak medio Mei lalu, Dinas Pariwisata DIY telah melakukan pemenuhan standar dan fasilitas sesuai protokol kesehatan di sejumlah destinasi wisata seperti: bersih-bersih, perbaikan dan penambahan fasilitas cuci tangan di 50 destinasi. Tak hanya itu juga dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan online meliputi marketing, visitor management, dan pemanduan. Dinas juga memandu penyusunan protokol kebersihan, kesehatan dan keamanan untuk akomodasi, restoran, dan transportasi. Dalam penyusunan SOP kali ini, Dinas Pariwisata DIY berkolaborasi dengan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY yang menaungi 22 usaha jasa pariwisata. “Sebagai contoh di hotel pada saat wisatawan menginap, prosedur apa saja yang harus di ikuti, pengecekan suhu badan, penggunaan masker, penanganan kamar setelah tamu check out dan sebagainya termasuk transportasi, daya tampung mobil yang menyesuaikan dengan protokol physical distancing,” tutur Singgih.

Kesiapan Industri Pariwisata

(Gatrareview/Anas Priyo/nhi)

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengatakan pihaknya sudah siap dengan ancang-ancang new normal di industri pariwisata. Sektor hotel dan restoran menurutnya sudah siap melaksanakan operasional setelah pelonggaran PSBB. “Kami dari PHRI sudah menyiapkan protokol kebersihan, kesehatan dan keselamatan,” kata Hariyadi ketika dihubungi wartawan Gatra review Wahyu Wachid Anshory.

Hariyadi berpendapat saat ini hampir semua negara bersiap membuka kembali aktivitas ekonomi, dengan protokol kesehatan yang ketat. Keseriusan pemerintah menurutnya terlihat saat Kementerian Perindustrian menerbitkan Surat Izin Operasional & Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) pada 17.000 perusahaan dengan persyaratan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat. Kebijakan itu memberi angin segar bagi industri pariwisata yang terpukul selama berbulan-bulan akibat pandemi Covid-19. “Sebelumnya hotel yang sementara tutup operasional 2.000 hotel, restoran 8.000 dan karyawan hotel yang dirumahkan atau unpaid leave bahkan dikenai PHK berjumlah sekitar 430.000 orang, restoran sekitar 800.000 orang,” ujarnya.

PHRI, terang Hariyadi, telah menerbitkan panduan hotel new normal dimana untuk karyawan hotel yang akan bekerja diperiksa suhu tubuh saat masuk kerja. Apabila ditemukan suhu tubuh karyawan di atas 37,3°C maka dalam jarak 5 menit akan dicek ulang. “Jika hasilnya masih sama, petugas pengecekan tidak memperbolehkan karyawan bekerja. Karyawan juga diwajibkan melapor ke atasannya melalui telepon,” ia menambahkan.

Selanjutnya untuk karyawan yang baru kembali dari perjalanan dinas ke negara atau daerah terjangkit Covid-19, wajib dikarantina mandiri selama 14 hari. Ia berkewajiban menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dengan sabun. Termasuk etika ketika batuk, berolahraga, mengonsumsi makanan bernutrisi, serta menghindari penggunaan alat pribadi bersama seperti alat makan, perlengkapan salat, dan lainnya.

Selain itu diberlakukan jaga jarak minimal 1 meter selama berada di area kerja dan kantin karyawan, serta materi edukasi pencegahan Covid-19 harus dipasang pada papan pengumuman karyawan atau media komunikasi lainnya. Sedangkan untuk tamu hotel dan restoran, pengelola wajib mengatur tempat, antrian dan mencegah kerumunan, pembatasan dan penentuan jumlah maksimum orang yang diizinkan di setiap bagian juga wajib dilaksanakan khususnya di area publik seperti lobby, teras, lift, dan lainnya.

Untuk tamu, jika suhu tubuh di atas 37C, akan disarankan untuk segera mencari perawatan medis dan mendapatkan izin medis sebelum diizinkan check-in. Jika suhu tubuh normal, maka tamu diwajibkan mengisi Formulir Pendaftaran & Deklarasi Perjalanan yang wajib diisi sebelum check-in. Pengaturan juga dilakukan pada tempat duduk yang dikondisikan berjarak satu meter. Apabila keluarga serumah dan ingin duduk bersama dapat diperkenankan dengan tetap memakai masker, dan hanya dilepas saat makan dan minum. “Hotel dan restoran juga bisa menetapkan durasi makan maksimum untuk tamu agar dapat membatasi/meminimalkan jumlah tamu di restoran pada satu waktu tertentu,” katanya.

Selain itu PHRI juga menganjurkan pembayaran transaksi non-tunai pada bagian kasir. Adapun pembayaran yang berlangsung secara tunai akan melalui perantara berupa money-tray. Tamu tetap dapat memilih melakukan pembayaran di meja dengan dibawakan hand sanitizer setelah aktivitas pembayaran berlangsung. “Demand akan meningkat bila PSBB sudah dilonggarkan, dan menurut saya kita tidak memiliki pilihan selain kembali memulai kegiatan ekonomi dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat,” kata Hariyadi.

Konsep Pariwisata di New Normal

Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Prof. Azril Azahari, mengatakan paradigma pariwisata di dunia sebelum adanya pandemi Covid-19 sudah bergeser menjadi shifting the tourism paradigm.

Paradigma lama menurutnya mengedepankan quantity tourism yang bersifat kuantitas atau jumlah, dan memiliki tolak ukur terhadap volume atau jumlah wisatawan. Di sisi lain juga ditunjang oleh siasat pariwisata naturalis. Azril menyebutnya dengan istilah 3S: sun, sand, dan sea.

Sementara paradigma saat ini mengedepankan nilai dengan melihat pada 3 S lainnya yakni: serenity, spirituality dan sustainability alias ketenangan diri, ketenangan batin dan kelestarian alam. “Pariwisata yang merusak alam pasti akan langsung diboikot oleh wisatawan. Paradigma dunia telah bergeser soal pariwisata,” ujar Azril ketika diwawancara wartawan Gatra review Almer Sidqi pada 4 Juni 2020.

Menurut Azril, paradigma pemerintah tentang pariwisata selama ini masih berpegang teguh pada paradigma lama. Dengan kata lain, pariwisata di Indonesia di mata dunia justru tidak sesuai dengan paradigma baru yang mengedepankan kualitas. “Tanpa adanya Covid-19 saja kita sudah ketinggalan,” ujarnya.

Tolak ukur keberhasilan di industri pariwisata masih berpedoman pada devisa yang diperoleh. Padahal ada hal yang lebih penting seperti tingkat kebetahan turis tinggal di suatu negara dan berapa banyak spend of money yang ia keluarkan. “Secara ekonomi, pariwisata itu bukan devisa yang diukur, melainkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB,” katanya. Menurut catatannya, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB hanya mencapai 5,7%. Besaran itu, menurutnya, masih rendah padahal pemerintah Indonesia selalu mengkampanyekan pariwisata sebagai sektor unggulan.

Azril mengatakan pada saat masa pandemi Covid-19 berlangsung terdapat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Ia mencontohkan pada 25 Februari 2020, pemerintah menerbitkan stimulus ekonomi jilid I yang memberikan insentif di sektor pariwisata selanjutnya memangkas harga untuk tiket dan hotel untuk mendatangkan wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia.

Bak makan buah simalakama, kebijakan tersebut dituding memberikan celah bagi masuknya Covid-19 ke Indonesia melalui imported case. Buntutnya, pada 2 Maret 2020, kasus infeksi corona pertama muncul di Kemang, Jakarta Selatan, yang dibawa warga negara Jepang. “Begitu dibuka, langsung,” ujarnya. Selanjutnya setelah kasus corona pertama resmi diumumkan oleh Presiden Jokowi, Pemerintah Indonesia tidak segera menutup lalu lintas orang, dan kebijakan menutup akses atau PSBB baru diterapkan pada akhir Maret.

Ia menambahkan, semestinya pemerintah bisa memanfaatkan krisis Covid-19 sebagai peluang. Kelemahan pariwisata Indonesia selama ini karena tidak berhasil melahirkan daya tarik, keunikan, dan keautentikannya. Di masa lalu, wisatawan cenderung mencari nilai-nilai yang enjoyable, sementara paradigma saat ini bagaimana para turis mendapatkan pengalaman yang mengesankan ketika mengunjungi suatu negara.

Selain itu, sektor pariwisata Indonesia masih mempunyai persoalan pada rendahnya daya saing seperti diungkap dalam studi Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI). Menurut Azril terdapat empat pilar yang harus diperbaiki yakni aspek health & hygiene, safety & security, tourist service infrastructure, dan environmental sustainability. Aspek keberlanjutan lingkungan menurutnya akan menjadi nilai plus dari pariwisata di Indonesia. “Di Mandalika terkenal pasirnya yang besar-besar, tapi diubah menjadi perlombaan formula F1. Bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan,” ujarnya.

Dengan wacana pemberlakuan new normal, kemungkinan besar pemerintah akan mencoba menggaet pasar domestik yakni wisatawan lokal. Namun Azril mengatakan kebijakan layanan harus berjalan paralel. Artinya harus ada sikap yang sama dalam melayani turis lokal. “Itu kesalahan fatal bahwa wisatawan lokal dianggap kelas dua. Standarisasi itu bersifat internasional,” katanya lagi.


Andhika Dinata dan Arief Koes Hernawan

1211