Jakarta, Gatra.com - Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus transparan dalam melakukan ekspor lobster. Lantaran, berdasarkan informasi yang didapatnya, urusan pajak masih menunggu peraturan Menteri Keuangan.
“Sedangkan ekspornya sudah jalan. Berarti enggak benar ini. Makanya, kalau bisa ditutup dulu. Jangan dibuka ekspor sebelum aturannya jelas,” katanya di Jakarta, Selasa (23/6).
Menurutnya, ekspor harus dihentikan lantaran izin tidak bisa berdiri sendiri. Jika aturan dari Kementerian Keuangan belum keluar, tentu pemasukan pajak tidak jelas ke mana. Hal ini menimbulkan dugaan ekspor yang telah dilakukan merupakan tindakan ilegal.
“Nah itu jadi pajak 'uka-uka'. Itu kan PNBP (pendapatan negara bukan pajak). Mau diposkan kemana? Katanya ada deposit dulu. Tetapi, kita tidak tahu hitung-hitungannya seperti apa. Tetapi, saya yakin ini ilegal. Makanya, kita akan telusuri di mana posisi uangnya,” tegas Ono.
Bahkan, ia menilai tindakan KKP terlalu gegabah dan terburu-buru. Harusnya KKP berhati-hati dalam memberikan izin ekspor dan memperhatikan nelayan serta kewajiban korporasi.
“Mereka harus punya tanggungjawab, misalnya bisa ekspor harus membangun pembudidaya lobster. Dia harus tanggungjawab dong, jangan hanya mau untungnya saja. Kalau bisa melakukan pelatihan dan pembinaan kepada nelayan-nelayan. Ekspor benih lobster itu harus menyeluruh dan utuh. Tidak hanya bicara nelayan, tetapi bicara korporasi juga. Tidak semua orang bisa masuk bisnis ini,” ujarnya.
Pemerintah harus melakukan kajian mendalam terkait siapa yang akan diuntungkan. Namun, Ono yakin, para pengusaha ekspor yang banyak diuntungkan dalam hal ini.
“Itu harus benar-benar dihitung dengan cermat. Banyak juga komoditas ekspor impor dari sisi pajak, ini besar. Akhirnya menyelundup lagi. Bagaimana pemerintah mendorong, bagaimana pemerintah menemukan teknologi untuk budidaya lobster, sehingga prospek kedepannya itu bukan ekspornya tetapi bagaimana budidayanya,” kata Ono.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai kebijakan melegalkan ekspor benur (benih udang yang hampir tidak kasatmata) tidak tepat. Terlebih belum ada PNBP yang masuk. Jika eksportir tidak dikenai bea dan PNBP, maka sama saja dengan melegalkan penyelundupan.
“Bea ekspor dan PNBP harus kena, jangan sampai ini tidak ada masuk uang ke negara. Sama saja penyelundupan kalau begitu, malah lebih baik selundupan, ada yang tertangkap, dulu diselundupkan kecil-kecil kerugian negara kecil, sekarang volume besar, negara enggak dapat apa-apa, ruginya double ini, yang untung yang kaya,” ujar Boyamin.
Sedangkan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo memastikan tidak ada pelanggaran dalam kegiatan ekspor benih lobster sejauh ini. Ia memastikan pihaknya akan tetap mengikuti semua aturan yang ada.
“Tidak ada pelanggaran atau tumpang tindih, karena semua yang menangani di Dirjen Bea Cukai,” katanya.
Edhy membenarkan aturan PNBP ini belum rampung, tapi sudah dalam tanap penyelesaian. Menurutnya, perkara ini cukup sulit diselesaikan. Namun, ia menegaskan jalan keluar perkara ini telah ditemukan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dianggap bermasalah oleh sejumlah pihak. Terlebih, perusahaan eksportir benih lobster ke Vietnam beberapa waktu lalu diduga tidak membayar pungutan PNBP. Selain itu, ada kabar dalam penunjukan eksportir juga diduga terjadi kongkalikong. Bahkan, DPR dan pegiat anti korupsi berulang kali meminta ekspor lobster dihentikan sementara.