Home Internasional Ancaman Perang Korsel vs Korut 

Ancaman Perang Korsel vs Korut 

Perbatasan Korea memanas. Korea Utara meledakkan kantor penghubung dengan Korea Selatan di zona demiliterisasi. Upaya rekonsiliasi 2018 terancam gagal.

 

- - - - - -

 

Korea Utara telah meledakkan kantor penghubung bersama yang biasanya dipakai sebagai lokasi dialog antar-Korea. Media pemerintah Korea Utara melaporkan, gedung empat lantai di Kota Kaesong, utara Zona Demiliterisasi (Demilitarized Zone/DMZ), yang memisahkan kedua Korea itu, diledakkan pada pukul 02.50 waktu setempat, Selasa, 16 Juni 2020.

Diketahui, kantor penghubung ini telah ditutup per 30 Januari karena pandemi COVID-19. Menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, staf mereka tidak pernah ke sana sejak penutupan. Kantor tersebut, walau berdiri di tanah Korut, biaya pembangunannya dialokasikan sepenuhnya dari anggaran Korsel.

Selama ini, gedung itu menjadi simbol harapan penyatuan kedua negara bersaudara tersebut. Dengan demikian, ledakan ini mungkin menandai titik balik dalam hubungan antara dua negara yang telah berkomitmen untuk "era baru perdamaian" kurang dari tiga tahun lalu.

Alasan penghancuran, sebut Korut, yakni tindakan balasan setelah sekelompok pembelot menggunakan balon untuk mengirim selebaran anti-Korea Utara di utara DMZ. "Tindakan bodoh yang berani baru-baru ini, merusak martabat kepemimpinan tertinggi kami. Dunia akan dengan jelas melihat hukuman berat apa yang akan dijatuhkan rakyat kami kepada pihak berwenang Korea Selatan," demikian sebuah pernyataan yang dimuat dalam Agensi Berita Sentral Korea (Korean Central News Agency/KCNA), media resmi Korut. 

Korut mengkritik, selebaran tersebut melanggar kesepakatan antara Presiden Korut, Kim Jong-un, dan Presiden Korsel, Moon Jae-in, pada 2018. Ketika itu, kedua pemimpin sepakat menghentikan tindakan permusuhan, termasuk meniadakan siaran melalui pengeras suara dan distribusi selebaran di sepanjang perbatasan. Di Korut, aktivitas menerima informasi yang tidak sesuai dengan arahan pemerintah, dicap sebagai aksi ilegal dan terancam konsekuensi berat.

Pembelot Korut yang menetap di Korsel, mengirim selebaran yang mengkritik Presiden Kim karena pelanggaran HAM dan ambisi nuklirnya. Pesan-pesan itu biasanya dilampirkan pada balon atau mengambang dalam botol yang dialirkan lewat sungai di perbatasan. Saudara perempuan Presiden Kim, Kim Yo-jong, menuntut pemerintah Korsel menghukum para pembelot, yang ia sebut "pengkhianat" dan "sampah manusia". 

 

***

 

Otoritas Korsel sedang menyelidiki para pembelot yang mengirim selebaran. Mereka berjanji siap menindak keras para aktivis yang mengirim selebaran anti-Korea Utara. Pemerintah mengajukan laporan ke polisi atas dua kelompok pembelot yang menyebar pesan-pesan menyinggung Pyongyang. Namun, segala upaya penuntutan bisa saja berujung kritik keras dari aktivis hak asasi manusia (HAM) dalam alam demokrasi liberal Korsel.

Korut juga mengancam akan meningkatkan kehadiran militernya di dalam dan di sekitar DMZ. Mereka mengumumkan bahwa angkatan bersenjata akan melakukan militerisasi ulang bagian-bagian perbatasan Korea yang sebelumnya dalam kondisi tenang.

Sebelum ledakan, Senin, 15 Juni 2020, Presiden Moon mengatakan, sangat penting bahwa Korut kembali ke meja perundingan daripada kembali terlibat konfrontasi. "Jalan yang harus dilalui oleh dua Korea jelas. Korea Selatan dan Korea Utara harus tetap memiliki keyakinan optimis mereka dan mengambil setiap langkah menuju rekonsiliasi nasional, perdamaian, dan penyatuan. Namun memperlambatnya mungkin. Janji perdamaian di Semenanjung Korea yang dibuat oleh Ketua Kim Jong-un dan saya, di depan 80 juta orang Korea, tidak dapat dibatalkan," tuturnya.

Pernyataan ini malah diikuti oleh ledakan di DMZ keesokan harinya. Juru bicara Gedung Biru Presidensial Korsel, Yoon Do-han, menyebut keputusan untuk meledakkan kantor penghubung adalah tindakan mengkhianati harapan semua pihak yang menginginkan peningkatan hubungan antar-Korea dan penyelesaian perdamaian di Semenanjung Korea.

Pada Rabu, 17 Juni 2020, Korut mengatakan akan memindahkan pasukan ke daerah-daerah perbatasan yang didemiliterisasi dan menolak tawaran Korsel mengirim utusan khusus untuk mengurangi ketegangan.

Presiden Moon sempat menawarkan mengirim penasihat keamanan nasionalnya, Chung Eui-yong, dan Kepala Mata-Mata, Suh Hoon, ke Pyongyang sebagai utusan khusus, serta mendesak Pyongyang untuk kembali berdialog. Namun Kim Yo-jong dan seorang pejabat senior pemerintah Korut menolak proposal itu.

"Solusi untuk krisis saat ini, antara Utara dan Selatan, yang disebabkan oleh ketidakmampuan serta tidak bertanggung jawab pihak berwenang Korea Selatan adalah tidak mungkin. Itu dapat dihentikan hanya ketika ada harga yang pantas dibayarkan," ucap Kim Yo-jong, dilansir AlJazeera. Sebagai tanggapan, Gedung Biru mengatakan Korsel tidak akan lagi menerima perilaku Korut yang dinilai tidak masuk akal.

 

***

 

Eskalasi itu membatalkan kesepakatan perdamaian lintas-perbatasan yang terkait dengan pembangunan ekonomi. Ini tentu akan menjadi kemunduran besar bagi upaya Moon untuk rekonsiliasi yang lebih tahan lama dengan Korut. Selain itu, akan makin merumitkan upaya-upaya AS membujuk Pyongyang agar meninggalkan program nuklir dan misilnya.

Hubungan antar-Korea telah membeku selama berbulan-bulan, setelah gagalnya pertemuan pada KTT Hanoi antara Presiden Kim dan Presiden Donald Trump awal tahun lalu, karena masalah sanksi. Korut menerima sejumlah sanksi dari Dewan Keamanan PBB akibat program senjata yang disebut terlarang.

Presiden Moon awalnya menjadi perantara dialog antara Pyongyang dan Washington, D.C. Namun Korut sekarang menyalahkannya karena dianggap tidak melakukan cukup banyak hal dalam membujuk AS agar mau mengurangi sanksi. "Di mata keluarga Kim, pejabat Moon memberi terlalu banyak harapan palsu bahwa pemerintahan Korsel akan berani menentang tekanan AS untuk memajukan hubungan mereka," ujar mantan utusan nuklir Korsel, Chun Yung-woo kepada Reuters.

Masih geram dengan selebaran Korsel, Korut mengatakan pada Senin, 22 Juni lalu, bahwa pihaknya telah menyiapkan ribuan balon dan jutaan selebaran sebagai balasan. "Persiapan untuk distribusi selebaran terbesar melawan musuh hampir selesai," demikian dilaporkan KCNA. Lebih dari 3.000 balon dari berbagai jenis, mampu menyebarkan selebaran jauh ke dalam Korsel, telah disiapkan bersama dengan sarana distribusi lainnya.

Kementerian Unifikasi di Seoul menyesalkan rencana selebaran Korut dan mendesak Pyongyang untuk membatalkan aksi itu. Situasi itu menegaskan bahwa kedua Korea secara teknis tetap dalam kondisi "perang". Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata pada 1953, tetapi tidak pernah tercapai perjanjian damai.