Home Hukum UGM: Polemik RUU HIP Tidak pada Tempatnya

UGM: Polemik RUU HIP Tidak pada Tempatnya

Yogyakarta, Gatra.com - Polemik tentang Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak pada tempatnya. Untuk itu, akademisi harus terus mengawal setiap kebijakan negara yang memiliki komitmen ideologis untuk melaksanakan dan mengamalkan Pancasila.

Hal itu disampaikan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM) Agus Wahyudi dalam diskusi daring ‘Webinar Pancasila: RUU HIP dan Cara Menalar Masyarakat dan Negara’ bersama akademisi PSP 14 universitas di Indonesia, Senin (22/6).

“RUU HIP ini harus dicermati dalam kerangka ideologis yang jelas karena polemik yang muncul cenderung tidak pada tempatnya,” ujar Agus.

Menurut dia, pmebahasan RUU HIP mestinyamemikirkan dan mengembangkan Pancasila secara lebih teknis dan menggeser Pancasila dari modus vivendi atau persetujuan sementara menjadi konsensus yang saling melengkapi.

“Negara mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat kelembagaan, pelaksanaan, dan pengamalan Pancasila di dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar dan prinsip-prinsip bernegara,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah perlu mendukung riset-riset skala lokal, nasional, dan internasional tentang Pancasila, sehingga menjamin pelaksanaan Pancasila di segala bidang kehidupan, khususnya di semua tingkat institusi pendidikan.

“Negara secara ideologis harus bisa menjawab berbagai macam kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Persoalan ideologis di masyarakat dan negara karena terjadi kekosongan ideologis. Oleh karena itu, negara perlu memiliki garis atau haluan ideologis kenegaraan dan kebangsaan yang jelas dan terukur batasannya,” tuturnya.

Peneliti Pusat Kajian Pancasila Universitas Sebelas Maret, Akhmad Ramdhon, menjelaskan polemik RUU HIP yang tidak pada tempatnya saat ini menjadi bagian dari transisi panjang sejak 1998 dan menyisakan dua persoalan, yakni belum adanya format final pembelajaran Pancasila dan Pancasila harus dihadapkan pada generasi baru.

“Pancasila membutuhkan formula baru untuk ditransfer ke generasi milenial. Pancasila harus menjadi payung yang lebar dan spirit untuk mendorong pengetahuan dan ilmu dan teknologi untuk menyelesaikan persoalan bangsa,” tuturnya.

Menurut dia, Indonesia kini memiliki tantangan otonomi daerah, keberagaman, hingga implementasi elektoral.

“RUU HIP harus menjamin dan dicatat untuk menjamin gagasan kebangsaan ini lebih komprehensif agar polemik dan kritik serta ketegangan harus dalam kerangka ideologis yang jelas,” ujarnya.

Para akademisi menyampaikan berbagai pandangannya seputar RUU HIP dan Pancasila. Dua peneliti pusat studi tercatat menyatakan penyusunan RUU HIP tak perlu dilanjutkan.

Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Karakter Bangsa, Universitas Negeri Semarang, Noorrachmat, menyebut RUU HIP berpotensi membatasi pengetahuan manusia dan berpotensi menjadikan Pancasila dogmatis. Ia merekomendasikan pembahasan RUU HIP tidak dilanjutkan.

“RUU HIP tidak perlu dilanjutkan dibahas tetapi pikirkan bagaimana mengamalkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Kalau perlu, regulasi penguatan Pancasila untuk memikirkan nasib guru-guru Pancasila yang selama ini tak pernah dipandang oleh kepala sekolah dan pemerintah. Pelajaran Pancasila masih dianaktirikan,” imbuh peneliti Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Padang, Junaidi.

4638