Jakarta, Gatra.com - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana mengatakan, meski sektor perbankan terkena dampak pandemi Covid-19, recovery rate (kemampuan pemulihan) sektor perbankan masih berada dalam kondisi aman.
“Dalam pantauan kami memang secara NPL (Non Performing Loan/raso kredit bermasalah) sudah mulai ada sedikit kenaikan, yaitu dari 2,77% pada bulan sebelumnya menjadi 2,89% pada posisi saat ini. Namun dari segi recovery rate (kemampuan pemulihan) masih sangat aman, yaitu mencapai 212,05%,” katanya di Jakarta, Senin (22/6).
Oleh karena itu, Heru mengimbau semua pihak untuk tidak panik dalam menghadapi pandemi ini ke depan. Pasalnya, pemerintah melalui OJK juga telah menyiapkan berbagai langkah yang bisa ditempuh sesuai perkembangan pasar.
“Paket relaksasi tahap pertama telah dijalankan lewat POJK Nomor 11. Bila memang diperlukan, paket-paket lanjutan juga sudah siap,” ujarnya.
Sejauh ini, OJK telah menyediakan berbagai opsi restrukturisasi kredit yang bisa dijalankan oleh perbankan terhadap nasabah kreditnya yang sedang bermasalah. Beberapa opsi itu di antaranya pengembalian posisi bunga ke pokok, penyesuaian jangka waktu kredit, penambahan fasilitas hingga konversi nilai kredit ke penyertaan modal sementara.
“Semua opsi itu kami serahkan sepenuhnya ke masing-masing bank. Ke masing-masing lembaga pembiayaannya, agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik nasabah kreditnya masing-masing,” jelas Heru.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja menyebut, persoalan likuiditas menjadi hal krusial yang harus benar-benar dijaga guna menyelamatkan industri perbankan dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh bank yang ada di Indonesia untuk lebih mengutamakan likuiditas dibanding profitabilitas perusahaan untuk kondisi saat ini.
“Kita bisa banyak belajar dari krisis yang terjadi saat 1998 dulu, di mana perekonomian babak-belur gara-gara likuiditas yang tidak tersedia di pasar. Saya ingat betul, sekitar setahun sebelumnya, hampir kita semua sangat yakin bahwa gelombang krisis tidak akan sampai ke Indonesia karena nilai tukar kita saat itu sangat kuat. Dollar di kisaran Rp2.000an. Tapi ketika melonjak drastis hingga Rp15.000an per dollar, otomatis likuiditas kita terkuras,” ucap Jahja.
Ajakan Jahja ini disambut baik kalangan pengusaha. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaya Kamdani berharap, dengan adanya komitmen dari perbankan ini, bisa memberikan ruang lebih untuk berimprovisasi dan berinovasi bagi pengusaha untuk dapat bertahan di tengah tekanan pandemi.
“Mendengar komitmen Bapak bahwa yang utama saat ini adalah saling bahu-membahu menjaga likuiditas, kami dari dunia sangat senang dan sumringah. Artinya kita sudah sepaham bahwa jangan dulu mengedepankan profitabilitas masing-masing. Mari kita saling berkolaborasi agar bisa menghadapi ini bersama-sama,” ujar Shinta.
Ia menambahkan, komitmen saling bantu ini juga dipegang teguh APINDO. Terutama, untuk mendorong kalangan pengusaha kecil dan menengah untuk dapat bertahan di tengah keterbatasan modal dan kekuatan yang dimilikinya. Misalnya dalam ketersediaan pasokan bahan baku, kondisi pasar yang sedang lesu, hingga penguasaan teknologi yang masih sangat terbatas di kalangan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Mungkin ajakan untuk going digital itu mudah bagi para pengusaha besar, tapi bagi mereka yang kecil-kecil ini, jangan dianggap itu hal yang mudah. Jadi jangan juga asal memberi tips atau seruan tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi. Selain stimulus yang sudah disediakan, untuk UMKM kita juga harus lihat lebih banyak hal lagi. Soal model bisnisnya, apakah masih valid atau sudah perlu move on. Soal digitalisasi mereka bagaimana, soal asset yang mereka punya dan ready to use apa saja. Itu semua harus dicek, dan kami sangat concern tentang hal ini. Kami tegas berkomitmen membantu mereka ini, karena kalua mereka bisa survive maka pasar juga akan kembali bagus dan kita semua bisa terselamatkan dari sana,” tegas Shinta.