Banjarnegara, Gatra.com – Kelompok remaja di Banjarnegara, Jawa Tengah menggelar pemutaran bareng dan bedah film ‘Mengenang 40 Tahun Tragedi Sinila’, sebuah film tentang insiden erupsi kawah yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia akibat embusan gas beracun, produksi Yayasan Sahabat Muda Indonesia dan Pusbangfilm Kemdikbud.
Salah satu tujuannya yakni membangkitkan kewaspadaan melalui film dokumenter bencana di masa silam. Selain itu, harapannya anak muda mampu memfilmkan bencana, baik bencana alam maupun nonalam agar bisa menjadi ingatan kolektif di masa mendatang.
Pembina Pemuda dan Remaja Bojanegara yang juga relawan Inspirasi Rumah Zakat, Yekti Nunihartini mengatakan, pemutaran film ini diharapkan bisa menjadi katalis untuk membangkitkan semangat anak muda di Banjarnegara untuk berkreasi melalui film. Terlebih, saat ini adalah masa pandemi Covid-19, di mana kegiatan pelajar terbatas. “Dengan berdiskusi film, bisa untuk meningkatkan kualitas film,” ucap Yekti, Minggu (21/6).
Sutradara film ‘Mengenang Tragedi Kawah Sinila’, Aziz Arifianto mengungkapkan, film tersebut relevan ditonton generasi saat ini, utamanya dalam menghadapi bencana. Seperti diketahui, Indonesia, termasuk Banjarnegara berada dalam masa pandemi Covid-19.
"Konteks bencana kan beragam, ada yang karena sebab alam, sebab manusia maupun sebab pandemi seperti yang terjadi saat ini. Nah yang terpenting saat ini adalah bagaimana respon dan kesiapan kita ketika menghadapi bencana. Respon itu bisa tepat mana kala ada ingatan kolektif dalam masyarakat. Hal itulah yang kurang dimiliki oleh masyarakat,” kata Aziz, Minggu (21/6).
Tindak lanjut kegiatan ini yakni Bojanegara akan dicanangkan sebagai kampung sinematografi. Anak muda akan dibina untuk meningkatkan kemampuan sinematografi. Dengan begitu, pelajar dan remaja memiliki kemampuan mumpuni, misalnya untuk merekam secara utuh peristiwa yang ada di sekitarnya pada masa pendemi Covid-19 ini. Dokumenter itu bisa menjadi sebuah memori kolektif bersama.
Sementara, sejarawan Banjarnegara, Heni Purwono yang juga produser film tersebut mengungkapkan bahwa dokumentasi tentang bencana masih minim dibuat oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya, ingatan kolektif masyarakat mengenai bencana sangat lemah.
"Letusan Krakatau, letusan Merapi, longsor di Banjarnegara sebenarnya hal yang bisa terprediksikan gejalanya. Tapi sering kali kita melupakan bencana di masa lampau. Karena itulah film tentang bencana kawah Si Nila ini hadir. Sebagai pengingat kolektif agar kita waspada di masa mendatang" jelas Heni.
Tentang pandemi, tambah Heni, juga sebenarnya pernah terjadi di masa kolonial dengan wabah pes di hampir seluruh Jawa. Tapi ingatan tentang wabah pes itu tak tercatat dalam arsip-arsip nasional dan lokal. “Seolah itu peristiwa tak penting yang perlu diingat-ingat, padahal potensi berulangnya tinggi," tandasnya.