Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengangkatan anggota TNI-Polri aktif menduduki komisaris utama (komut) maupun komisaris di BUMN, selain melanggar hukum juga mencederai prinsip profesionalisme.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan pers, Minggu (21/6), menilai pengangkatan tersebut mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN, yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat.
Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, sudah tentu kompetensi ini secara normatif tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Jabatan dalam jajaran BUMN harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai jabatannya, sehingga amanat UU BUMN dapat dilaksanakan dengan baik.
Pada sisi lain, penempatan prajurit dan perwira aktif dalam jajaran BUMN menunjukan sikap ketidakprofesionalitasan TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam UU TNI dan Polri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mencatat bahwa sepanjang tahun 2020, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengangkat setidaknya 2 prajurit aktif TNI dan 3 perwira aktif Polri menjadi komisaris utama dan komisaris di masing-masing BUMN.
"Koalisi Reformasi Sektor Keamanan memandang bahwa pengangkatan perwira TNI-Polri dalam jajaran BUMN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri)," ujarnya.
Selain itu, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan memandang pengangkatan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN juga bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan dan prinsip profesionalisme yang seharusnya dijadikan landasan dalam pengelolaan negara, termasuk di institusi TNI dan Polri serta BUMN.
"Kami menilai, penempatan sejumlah perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN menggambarkan keengganan (unwillingness) Pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI dan Polri (Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000)," katanya.
Pengangkatan ini justru menunjukkan suatu kemunduran reformasi TNI-Polri dan menarik-narik TNI-Polri kembali “berbisnis” sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
Pemerintah semestinya fokus pada sejumlah reformasi TNI dan Polri yang hingga kini mengalami stagnansi, seperti penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, modernisasi alutsista TNI-Polri, penguatan peran lembaga pengawas kepolisian (Kompolnas), kesejahteraan prajurit TNI dan anggota Polri, dan lain-lain.
Selain itu, dalam pernyataannya di beberapa media massa, Pemerintah mengutarakan maksud di balik pengangkatan sejumlah prajurit dan perwira aktif TNI-Polri disebabkan banyaknya konflik di lapangan antara BUMN dan masyarakat, misalnya konflik tanah, perizinan yang tumpang tindih, dan isu sosial.
"Ini mengindikasikan akan digunakannya pendekatan keamanan dalam mengamankan kepentingan perusahaan, yang sangat potensial terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM di kemudian hari, mengingat dalam banyak kasus pembela HAM kerapkali menjadi korban dalam konflik-konflik serupa," ujarnya.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di antaranya Ikhsan Yosarie dari Setara Institute, Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS, Muhammad Rasyid Ridha dari LBH Jakarta, Jesse Adam Halim dari HRWG, dan Ardi Manto Adiputra dari Imparsial.