Bantul, Gatra.com - Penyelenggara Kongres Kebudayaan Desa 2020 membantah bahwa kongres tersebut mengabaikan desa adat. Hal ini merespons pernyataan pegiat desa adat Yando Zakaria yang memprotes acara tersebut.
Ketua Panitia Kongres Kebudayaan Desa 2020 Ryan Sugiarto menjelaskan kongres ini membuka partisipasi semua pihak untuk ikut andil merumuskan berbagai aspek desa.
"Tidak hanya melibatkan desa-desa pinggiran kota atau desa-desa modern, tapi juga desa-desa yang selama ini dikenal sebagai desa adat,” ujar Ryan lewat pernyataan tertulis kepada Gatra.com, Sabtu (20/6).
Yando, peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yogyakarta, sebelumnya menolak menjadi pembicara kongres itu lantaran tak melibatkan pembahasan seputar desa adat.
Ryan menjelaskan, Kongres Kebudayaan Desa membahas berbagai topik tentang desa. Mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, kebudayaan, reformasi birokrasi, informasi, hingga datakrasi.
Menurutnya, Beragam aspek tersebut akan digali dari nilai-nilai Nusantara dan melibatkan para pemangku kepentingan desa dengan beragam latar belakang. "Harapannya, kongres ini menjadi forum bersama untuk merumuskan tatanan arah Indonesia baru," ujarnya.
Ia menepis anggapan Yando bahwa kongres ini mengabaikan isu desa adat. "Tudingan tersebut tidak berdasar. Karena beragam topik yang dibahas dalam rangkaian KKD berusaha mengakomodir berbagai kepentingan lintas kebijakan," ujarnya.
Dengan begitu, acara ini akan menghasilkan rancangan strategis yang diharapkan bisa menjadi acuan desa-desa di Indonesia untuk menyusun kebijakan di era normal baru. "Tentu dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing desa," kata Ryan.
Kongres digelar oleh Sanggar Inovasi Desa, Desa Panggungharjo, Bantul, DIY, pada 1 Juni hingga 15 Agustus 2020 secara daring. "Kongres Kebudayaan Desa merupakan salah satu inisiatif untuk mengajak desa-desa di Nusantara bersiap dengan tatanan baru karena wabah Covid-19," ujarnya.
Selain diskusi daring, acara ini menggelar riset, Festival Kebudayaan Desa Adat, hingga puncaknya Deklarasi Tatanan Indonesia Baru. Ryan berkata, kongres ini menjadi ruang bagi desa, termasuk desa adat, untuk menyajikan gagasannya.
"Mulai Papua hingga Aceh terbuka untuk turut memproyeksikan tatanan Indonesia baru. Tidak ada istilah Kongres Kebudayaan Desa mengabaikan pihak tertentu karena kongres ini disemangati salah satu nilai luhur desa, yaitu gotong-royong," tuturnya.