Jakarta, Gatra.com – Pemerintah telah menetapkan target strategis untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang masuk ke lautan sebesar 70% di tahun 2025. Salah satu caranya, adalah membangun pendekatan ekonomi sirkular.
Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolalaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, Ujang Solihin Sidik, dalam webbinar, Jumat (19/6), mengatakan, target itu untuk mengurangi sampah plastik yang masuk ke laut.
Berdasar data dari Indonesia National Plastic Action Partnership yang dirilis bulan April kemarin, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik dan 9%-nya atau sekitar 620 ribu ton masuk ke sungai, danau, dan laut.
Sebelumnya, Indonesia juga disebut sebagai negara yang menyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan target strategis untuk mengurangi jumlah sampah plastik.
Pendekatan ekonomi sirkular diyakini mampu mengurangi jumlah sampah plastik dengan menggunakan kembali maupun mendaur ulang plastik paskakonsumsi menjadi bahan baku untuk dibuat produk baru.
Selain itu, ekonomi sirkular tidak hanya dapat menjadi solusi bagi permasalahan sampah di Indonesia namun juga memberikan mata pencaharian bagi mereka yang menjadi bagian dari rantai nilai daur ulang dan saat ini mencapai lebih dari 5 juta orang di Indonesia.
Dalam webbinar bertajuk "Bangkit dari Pandemi: Mendorong Ekonomi Sirkular untuk Masyarakat dan Bumi yang Lebih sehat" gelaran Danone-Aqua, Direktur Sustainable Development Danone Indonesia, Karyanto Wibowo, menyampaikan, untuk mendukung program dan target pemerintah, pihaknya telah meluncurkan gerakan #BijakBerplastik.
Gerakan ini fokus pada 3 komitmen untuk mengatasi permasalahan sampah plastik di Indonesia, yaitu pengembangan infrastruktur pengumpulan sampah, edukasi konsumen terkait pengelolaan sampah, dan inovasi kemasan produk.
Selain itu, Danone-Aqua juga menargetkan di tahun 2025 dapat mengumpulkan lebih banyak plastik daripada yang digunakan, mengedukasi hingga 100 juta konsumen, memastikan 100% kemasan kami dapat digunakan ulang, didaur ulang atas dijadikan kompos, serta meningkatkan kandungan material daur ulang dalam botol menjadi 50%.
"Untuk mencapai target-target tersebut, saat ini kami telah melakukan berbagai inisiatif, di antaranya membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) bersama Pemerintah Kabupaten Lamongan," katanya.
Kemudian, menyusun modul pembelajaran Sampahku Tanggung Jawabku untuk anak sekolah dasar dan buku cerita untuk taman kanak-kanak serta terus melakukan riset dan uji coba untuk inovasi kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Sejak diluncurkan dua tahun lalu, saat ini telah mengumpulkan botol plastik bekas hingga 13.000 ton dan mengedukasi lebih dari 18 juta konsumen untuk bijak dalam pola konsumsi sehari-hari dan pengelolaan sampah.
Sementara itu, masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid)-19 yang melanda dunia juga menjadi salah satu tantangan bagi upaya pengelolaan sampah di Indonesia saat ini. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan ada kenaikan sampah plastik seiring dengan berubahnya tren konsumen di masa pandemi.
Sampah masker, sarung tangan plastik hingga penggunaan kembali plastik sekali pakai di supermarket dengan tujuan melindungi produk dari virus meningkat. Sampah-sampah plastik tersebut jika tidak dapat dikelola dengan baik, dikhawatirkan dapat berakhir di lingkungan.
Peneliti dari Sustainable Waste Indonesia (SWI), Dini Trisyanti, mengatakan, walaupun sedikit banyak pandemi Covid-19 memberikan dampak bagi pengelolaan sampah di Indonesia karena pemulung serta sektor informal pengelolaan sampah juga menjadi salah satu yang sangat rentan terdampak pada kondisi saat ini.
Namun, lanjut Dini, berdasarkan hasil riset SWI, saat ini tingkat daur ulang botol PET di Indonesia sudah lebih dari 60%. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata Eropa sejumlah 48% dan Amerika sebesar 29%.
"Hal ini disebabkan botol PET mempunyai harga jual yang tinggi dan telah terkelola dengan baik oleh industri daur ulang. Hal ini merupakan peluang bagi pengelolaan sampah di Indonesia dan selayaknya dikembangkan juga untuk kemasan lain yang masih sulit didaur ulang dan bernilai rendah," ujar Dini.
Ujang Solihin menambahkan, pengembangan ekonomi sirkular dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab berbagai tantangan tersebut. Ekonomi sirkular tidak hanya akan berdampak positif bagi upaya pengelolaan sampah, tetapi juga menjadi pijakan utama pengembangan dan penerapan bisnis berkelanjutan di Indonesia.
"Pemerintah saat ini juga sedang menggodok Green Procurement Policy sebagai bentuk dukungan atas ekonomi sirkular," ujarnya.
Program ini membutuhkan kolaboratif dari setiap pihak, baik pemerintah, masyarakat, konsumen, produsen, industri daur ulang, sektor informal, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan ekosistem ekonomi sirkular yang kuat dan tangguh.
"Kami juga mengapresiasi peran produsen untuk mendukung komitmen pemerintah melalui berbagai langkah, inisiatif, dan inovasi dalam pengelolaan sampah dari produk dan kemasan produk," katanya.