Yogyakarta, Gatra.com - Kemampuan tes spesimen pasien terkait Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta jauh dari jumlah tes yang direkomendasikan lembaga kesehatan dunia, WHO. Jumlah tes di DIY tak sampai sepertiga jumlah tes ideal untuk suatu wilayah versi WHO
Namun Pemda DIY menilai tak semua ketentuan WHO dapat secara seragam diterapkan di dunia. “Indikator WHO tidak aplikabel untuk semua negara,” ujar anggota Tim Perencanaan Data dan Analis Gugus Tugas Covid-19 DIY Riris Andono Ahmad, Jumat (19/6).
WHO menentukan angka tes polymerase chain reaction (PCR) lewat swab lendir pasien itu idealnya satu tes per seribu penduduk di suatu wilayah per minggu.
Dengan jumlah warga DIY 3,8 juta orang, tes swab tersebut mestinya telah dijalani 3.800 orang tiap pekan. Namun dari data harian yang dilaporkan Pemda DIY, selama sepekan terakhir baru 1.181 orang dites Covid-19 di DIY.
Angka itu tak sampai sepertiga dari target WHO tersebut atau tepatnya baru 31 persen. Jika dihitung per hari, 543 warga DIY harus dites tiap hari. Namun jumlah warga yang dites harian di DIY juga naik turun. Hari ini contohnya dilaporkan tambahan 135 orang dites swab.
Menurut Riris, capaian tes hanya nyaris sepertiga target WHO itu lantaran strategi penanganan Covid-19 DIY yang tak cuma mengandalkan tes PCR, melainkan juga lewat tes cepat.
“Sebenarnya (jumlah tes) spesimen rendah itu karena kebijakannya harus melalui rapid test. Terseleksi dulu karena skrining oleh rapid test. Selama (kebijakan) itu tak diganti, itu akan mengurangi pemeriksaan swab,” tuturnya.
Riris mengakui idealnya pelacakan kontak pasien positif Covid-19 mesti langsung lewat tes swab, bukan tes cepat. Namun untuk tes swab massal pun, setiap daerah punya pertimbangan berbeda, seperti cakupan penularan.
”Semua itu tergantung situasinya. Kalau bukan transmisi besar, fokusnya ke contact tracing. Kalau ada transmisi besar, ada skrining massal, lanjut ke contact tracing. Strateginya bergantian,” kata dia.
Dalam 14 indikator kesehatan masyarakat susunan pemerintah via Badan Nasional Penanggulangan Bencana, indikator tes swab tak sedetail aturan WHO, melainkan hanya menyebut tes spesimen meningkat selama dua pekan.
Menurut Riris, indikator pemerintah juga tak selalu dapat diterapkan di semua daerah secara sama. “Indikator BNPB tak aplikabel di level tertentu di DIY,” ujar epidemiolog Universitas Gadjah Mada ini.
Ia mencontohkan indikator penurunan kasus 50 persen dari saat puncak kasus tak dapat diterapkan di Kabupaten Kulonprogo karena kasusnya sedikit. Tapi di sisi lain mobilitas warga DIY juga terintegrasi di satu lingkup wilayah, beda dari provinsi lain seperti Jawa Tengah.
“Kami sedang diskusikan pada level mana indikator itu dipakai dan diadaptasi karena DIY satu wilayah epidemiologi tapi di dalamnya ada sub-subpopulasi. Secara umum, DIY zona kuning tapi tidak dapat dipukul rata di semua tempat,” kata dia.
Untuk itu, Pemda DIY tengah menyiapkan pembagian zona tingkat kasus Covid-19 sebagai panduan pemerintah dan masyarakat beraktivitas di masa pandemi. Pemerintah menentukan empat zona, yakni merah, oranye, kuning, dan hijau.
Zona merah untuk wilayah dengan kasus Covid-19 terbanyak dan zona hijau untuk daerah yang paling aman dari virus Corona. DIY termasuk zona kuning sesuai 14 indikator pemerintah dengan risiko penularan Covid-19 rendah. “Risiko rendah ini sesuai skor yang dibuat Dinas Kesehatan DIY,” ujarnya.
Hingga kini, total ada 277 kasus positif Covid-19 di DIY dengan tambahan satu kasus hari ini. Dari jumlah itu, delapan orang meninggal dan 226 orang sembuh, termasuk tujuh orang yang sembuh hari ini. Pemda DIY menemukan 1.763 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 7.358 orang dalam pemantauan (ODP).