Jakarta, Gatra.com- Staf Khusus Menteri Bidang Peningkatan Pelayanan Kementerian Kesehatan Akmal Taher menyayangkan uji klinis alat kesehatan di Indonesia belum berkembang. Selama ini, proses tersebut dilakukan melalui prosedur uji klinis obat. Padahal, uji klinis alat kesehatan dan obat terdapat perbedaan.
“Waktu baru mulai kebutuhan alat kesehatan baru. Pengembang ventilator produksi dalam negeri berasal dari universitas, bekerja sama dengan industri. Datangnya waktu pandemic, kita harus memutuskan dalam waktu cepat. Cepat mendapatkan izin dan dibagikan karena dibutuhkan rumah sakit,” tuturnya dalam dalam Webinar Seri-3: Research Ethic in Covid-19 Pandemic, Jumat (19/6).
Ia memaparkan, Cara Uji Klinik Alat Kesehatan yang Baik (CUKAKB) harus memenuhi standar desain, pelaksanaan, pencapaian, pemantauan, audit, perekaman, analisis, dan pelaporan uji klinis. Pelaporan ini menjamin data dan hasil yang dilaporkan akurat dan terpercaya. Selain itu, terdapat perlindungan terhadap hak, integritas, dan kerahasiaan subjek.
Uji klinis terhadap alat kesehatan memerlukan proses yang lebih detail. Berdasarkan Permenkes Nomor 63 Tahun 2017, tahapan tersebut dilakukan untuk menilai keamanan, kemanfaatan, dan efektifitas atau kinerja alat kesehatan. Spesifikasinya yaitu alat kesehatan baru yang berdampak pada keselamatan dan kesehatan manusia, alat kesehatan kelas C, dan alat kesehatan kelas D.
“ Indonesia sudah meratifikasi keamanan alat yang berlaku. Implant ortopedi memerlukan uji klinik karena mengubah fungsi organ tubuh. Stent jantung, memengaruhi fungsi badan. Relaksasi yang diberikan, abis piloting, keluar izin edar. Kemarin, kita melakukan uji edar sementara. Mesti kasih report. Produksi buat 1 tahun. Alat yang baru cukup lama. Kita kasih izin edar, akan diminta lebih banyak,” ujarnya.
Meski, ada beberapa alat yang tidak memerlukan uji klinik. Kriteriannya yaitu alat yang sudah memiliki izin edar, indikasi sama, dan teknologi sama. Kemudian, apabila memiliki indikasi serupa, tetapi karakteristik berbeda, itu juga sudah memenuhi persyaratan.
“Perubahan teknologi tidak memengaruhi safety, sehingga tidak perlu uji klinik. Namun, untuk ventilator tetap melalui uji klinik. Mengapa? Karena track record belum ada, meski indikasi dan teknologi sama,” ucap Akmal.
Menurutnya, Indonesia perlu fokus memajukan industri dalam negeri. Salah satu caranya, memiliki fasilitas dan memberikan ruang untuk menilai alat kesehatannya. Saat ini, pengujian tersebut belum tersosialisasi dengan baik.