Jakarta, Gatra.com- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan ratusan juta dosis vaksin diproduksi tahun ini, sehingga 2 miliar dosis dapat disalurkan pada akhir tahun 2021. Menanggapi hal ini, Ahli Virologi UGM, Tri Wibawa mengimbau, Pemerintah Indonesia perlu menyeleksi calon vaksin yang akan digunakan. Industri farmasi kebanyakan terdapat di negara maju, sedangkan trial dilakukan di negara berkembang. Oleh karena itu, perlu adanya pemilihan.
“Apakah kita tidak hanya menjadi objek? Hasilnya mahal dan kita enggak kuat beli. Ini harus dipertimbangkan juga. Bergaining dengan sponsor harus dipertimbangkan,” katanya dalam Webinar Seri-3: Research Ethic in Covid-19 Pandemic, Jumat (19/6).
Menurutnya, Imunogenisitas atau kemampuan menimbulkan respon imun, perlu diperhatikan. Tahapan tersebut bisa menghasilkan efek yang diharapkan maupun tidak diharapkan. Untuk memilih subjek penelitian, itu tidak mudah. Ada beberapa aspek yang perlu ditekankan terutama dari sisi komunitas. Peneliti perlu meyakinkan masyarakat bahwa uji coba tersebut aman untuk kesehatannya.
“Ini kan controlled human infection. Dalam penelitian, orang sehat diinfeksi untuk melihat respon tubuhnya. Untuk mempercepat pengembangan vaksin, hanya [membutuhkan] 10-100 orang. Bisa menggantikan data signifikan pengembangan trial vaksin fase 2 dan fase 3,” ujarnya.
Selain itu, peneliti perlu memikirkan dampak buruk yang kemungkinan akan muncul. Pertama melihat apakah vaksin bersifat protektif atau tidak. Apabila dampaknya berkebalikan, semisal menimbulkan diare dan kecacatan, maka kelompok tersebut harus dipisahkan.
“Kalau kita me-review controlled human infection, yang penting sampling. Bagaimana kita memproteksi dan menyakinkan tidak berkembang di lingkungan. Remunerasinya pasien dan keluarga, harus dipertimbangkan,” ucap Tri Wibawa.
Mengamati pengembangan vaksin, Ahli Virologi UGM itu mengharuskan peneliti melakukan konsultasi dan pendekatan dengan komunitas. Kalau perlu melibatkan tokoh masyarakat dan ahli di bidangnya. Selain peneliti, perlu peran pembuat keputusan dan regulator serta kordinasi sponsor.
“ Untuk pesertanya, diyakinkan tidak menyebabkan risiko besar. Berikutnya, harus ada satu komite atau badan yang memonitor terdiri dari para ilmuan dan ahli etika dan metodologi penelitian. Terkahir, informasi kuasanya harus jelas. Manfaat dan apa yang harus dilakukan oleh peneliti, sebagai langkah peneliti. Intinya, hampir semua tahapan memerlukan standar lebih tinggi,”katanya.