Pekanbaru, Gatra.com - Ini kali pertama wakil rakyat di DPRD Riau mengulik Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) persis setelah program Presiden Jokowi ini dikerubungi sederet masalah di Riau. “Banyak yang musti segera dibenahi di PSR ini, kalau enggak segera, program ini bakal sia-sia saja. Tengok sajalah, tahun ini target PSR 24 ribu hektar, meski sudah pertengahan tahun, yang rampung baru sekitar 9 ribuan hektar,” kata Ketua Komisi II DPRD Riau, Robin P Hutagalung kepada Gatra.com, Jumat (19/6).
Ruwetnya persoalan itu kata kader PDI Perjuangan ini ketahuan setelah pihaknya menggelar rapat koordinasi dengan semua dinas yang mengurusi perkebunan kelapa sawit di Riau, di ruang rapat komisi II DPRD Riau. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Zulfadli juga ada di sana.
Baca juga: Mengurai Pemicu Gagal PSR
Dalam rapat itu Zul cerita, PSR tahun 2020 menyasar 9 kabupaten dan satu kota di Riau. Siak dan Pelalawan masing-masing 5 ribu hektar, Kampar 4500 hektar, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Rokan Hulu masing-masing 2 ribu hektar, Bengkalis, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir masing-masing 1.000 hektar dan Dumai 500 hektar. "Capaian saat masih di angka 9.279,77,” katanya.
Minimnya capaian itu kata Zul tidak lepas dari persoalan legalitas lahan, kelembagaan dan pola PSR yang dipilih pekebun. Tiga persoalan ini sangat rumit. “Di legalitas lahan misalnya. Ada surat lahan yang tak sesuai dengan KTP, KK dan buku tabungan pekebun. Format legalitas yang beragam, surat lahan tidak ada, pekebun tidak berdomisili di sekitar kebun, kebun di kawasan hutan, peta kebun belum berkoordinat polygon dan ada juga lahan sudah diagunkan ke bank ,” Zul mengurai.
Lalu dari sisi kelembagaan, banyak kelembagaan petani swadaya belum terbentuk. Ada juga sudah terbentuk tapi pekebun kurang percaya dengan kelembagaan itu. “Pola yang dipakai untuk mengerjakan PSR juga jadi masalah. Khususnya jika PSR dikerjakan oleh pihak ketiga,” tambahnya.
Ketersediaan bibit bersertifikat siap tanam, tidak adanya jaminan pembiayaan kredit bank untuk program P-1 hingga P-3 serta masih ngambangnya biaya hidup pekebun jelang tanaman menghasilkan, melengkapi persoalan rumit tadi.
“Kami menangkap ada juga indikasi permainan mafia perkebunan di PSR ini. Soalnya duit PSR ini menggiurkan lho,” Sekretaris Komisi II DPRD Riau, Sugianto menimpali. “Perlakukan Kementerian Pertanian kepada surveyor yang terkesan jomplang dengan dinas perkebunan setempat juga ikut berpengaruh dalam percepatan pencapaian target PSR itu,” tegasnya.
Apa yang menjadi bahasan komisi II dan dinas perkebunan tadi sangat dimaklumi oleh Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung. “Saya ambil contoh Sumatera Barat saja ya. Capaian PSR di satu kabupaten di sana, masih lebih banyak dibanding capaian di 10 kabupaten kota di Riau. Fakta ini tentu jadi tantangan berat bagi Kadisbun Riau yang baru. Saya berterimakasih kepada Komisi II DPRD Riau yang sudah menyoroti lambannya PSR itu,” katanya kepada Gatra.com.
Soalnya kata Gulat, dari data BPDPKS periode 2016-2020, ada 136.344 hektar lahan sawit rakyat yang sudah PSR. Angka ini sama dengan 27,2% dari target PSR 500 ribu hektar hingga 2023. “Adapun jumlah pekebun yang terlibat dalam PSR yang 136.344 hektar itu mencapai 47.174 orang dengan total penyaluran dana Rp3,408 triliun,” rinci Gulat.
Hanya saja, dari luasan itu ternyata cuma 8,6% pekebun swadaya alias pekebun kampung. Sisanya justru pekebun plasma (pekebun yang selama ini dibina oleh perusahaan). Khusus di Riau, dari 9.279,77 hektar yang sudah di-PSR-kan, hanya 1,8% pekebun kampung, sisanya pekebun plasma atau eks plasma. Padahal kata Gulat, secara nasional, pekebun plasma hanya 12% dari 6,72 juta hektar total luas sawit rakyat.
Baca juga: Kalau Mau PSR Selamat, Lakukan Ini
Dari kenyataan itu lah kata Gulat, Apkasindo berharap untuk tahun 2020-2023, PSR harus menyasar pekebun kampung tadi. “Kami berharap semua stakeholders mau bertungkuslumus memperjuangkan itu. Kalau pekebun plasma kan masih ada bapak angkatnya perusahaan,” katanya.
Biar PSR pekebun kampung sukses kata Gulat, sosialisasi harus masif dengan melibatkan organisasi pekebun yang kredibel dan jelas keanggotaannya. Lalu semua stakeholders yang bersentuhan dengan perkebunan kelapa sawit, musti jemput bola, lakukan pendampingan. “Jangan hit and run,” kata lelaki 47 tahun ini.
Selanjutnya, kasi semangat kepada pekebun kampung itu, jangan malah dipersulit pula dengan bahasa-bahasa 'planet' yang membikin pekebun bingung. “Lalu bikin posko PSR di tiap kecamatan, bikin Standar Acuan Rekanan (SAR), sebab mengerjakan PSR enggak boleh rekanan kaleng-kaleng. Yang paling penting itu, kalau pekebun memilih pengerjaan PSR dengan pola setengah bermitra, sebaiknya pekerjaan yang dikontrakkan jangan hanya di P-0, tapi harus P-0 sampai P-3 biar kontrakror bertanggungjawab hingga tanaman menghasilkan. Kalau PSR gagal, kontraktor harus menggantirugi,” katanya.
Selama ini kata Gulat, rekanan cuma 'doyan' mengerjakan P-0 (persiapan, penumbangan pohon sawit dan land clearing). Maklum, duitnya jelas. Beda dengan P-1 hingga P-3. “Duitnya musti menunggu pencairan dari pinjaman bank. Itupun kalau bank mau. Padahal, titik rawan PSR sebenarnya justru ada pada perawatan dari P1 hingga P-3,” auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini mengurai.
Terkait tim surveyor PSR yang dibilang Sugianto tadi, menurut Gulat ada benarnya. Mestinya surveyor itu bukan satu-satunya lembaga yang merekrut dan memetakan calon lahan PSR, tapi justru Dinas Perkebunan dan Asosiasi Pekebun Kelapa Sawit setempat yang semestinya dikasi ruang paling besar untuk merekrut calon pekebun PSR. “Sebab meraka yang lebih tahu,” kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini.
Kalau saja Dinas Perkebunan dan asosiasi pekebun setempat dibekali pembiayaan yang mumpuni kata Gulat, PSR bakal lancar. “Selama ini kendala yang dialami teman-teman Dinas Perkebunan adalah sangat minimnya dana yang disiapkan oleh BPDPKS untuk proses rekrutmen calon peserta PSR, lah kenapa biaya untuk tim surveyor bisa besar?” ayah dua anak ini bertanya.
Terlepas dari semua masalah yang ada itu kata Gulat, pemerintah daerah tetap musti mensyukuri program PSR tadi. Sebab kalaulah program itu dibebankan kepada anggaran daerah, katakanlah PSR 24 ribu hektar, maka pemerintah daerah musti menyiapkan duit Rp720 miliar. “Duit dari mana? Jadi, saya berharap semua dinas perkebunan di Riau dukunglah PSR itu semaksimalnya. Mensukseskan PSR 24 ribu hektar berarti sudah mendistribuasikan asset ke pekebun sebesar Rp2,4 triliun,” katanya.