Yogyakarta, Gatra.com - Pegiat desa adat memprotes gelaran Kongres Kebudayaan Desa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena tak membahas soal desa adat. Pengabaian isu desa adat menjadi cermin Undang-undang Desa belum dipahami secara utuh.
Hal ini disampaikan oleh antropolog sekaligus peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yogyakarta, Yando Zakaria. “Saya menolak untuk hadir dan menyampaikan protes karena tidak disertakannya soal desa adat sebagai sebuah nomenklatur,” ujar Yando saat dihubungi Gatra.com, Kamis (18/6).
Kongres Kebudayaan Adat digelar secara daring 1 Juni -15 Agustus 2020. Kongres ini digelar Sanggar Inovasi Desa dari Desa Panggungharjo, Bantul, menggandeng Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Acara ini membahas berbagai topik soal desa, seperti soal tata kelola pemerintahan hingga kondisi normal baru karena Covid-19.
Menurut Yando, dirinya diundang untuk menjadi salah satu pembicara di forum itu. Namun, bukannya soal desa adat seperti kepeduliannya saat ini, melainkan tema-tema umum.
“Saya tidak habis pikir bagaimana acara sepenting ini mengabaikan keberadaan desa adat baik dalam kebijakan maupun sebagai realitas,” ujar Yando dalam pesan singkatnya ke penyelenggara kongres.
Menurut Yando, pengabaian desa adat di kongres soal desa menjadi cermin kondisi para pegiat desa. “Aktivis desa ternyata enggak paham UU Desa dan melihat desa dari satu sisi saja, yakni desa dinas, dan mengabaikan desa adat,” katanya.
Selain itu, yang tak kalah penting, pembahasan desa adat di UU Desa mangkrak selama lima tahun ini. “Tidak ada upaya serius nomenklatur desa adat diwujudkan. Inisiatif daerah mentok dantak diakomodasi pemerintah
Yando berharap, para aktivis dan pemerintah memahami UU Desa secara utuh dan menerapkannya, terutama memberi perhatian soal desa adat. “Padahal UU ini diperjuangkan untuk perbaikan masyarakat desa,” kata dia.