Yogyakarta, Gatra.com - Dalam sistem hukum pidana Indonesia saat ini, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan yang menjadi korban penyiraman air keras dianggap sebagai trouble maker atau biang masalah, dan bukan sebagai korban.
Hal itu diungkapkan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Sri Wiyanti Eddyono, dalam diskusi daring, “Novel Baswedan Mencari Keadilan: Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa”, gelaran FH UGM, Rabu (17/6).
“Dengan sistem pidana kita saat ini, Novel dianggap sebagai trouble maker dalam penegakan hukum, bukan korban,” ujar dia.
Menurut dia, sistem hukum pidana Indonesia masih menganut prinsip keadilan restributif, bukan keadilan restoratif. “Keadilan restributif menekankan keadilan pada kepentingan publik, bukan pada korban orang per orang. Ini akar persoalannya,” tutur dia.
Sri menjelaskan, korban sebenarnya memiliki tiga hak dalam sistem proses peradilan, yakni hak perlindungan, partisipasi, dan reparasi. Namun sejumlah hak Novel sebagai korban tak terpenuhi.
Hak perlindungan menyangkut perlindungan atas privasi, pembatasan akses, dan ancaman keamanan. “Ada intenstitas ancaman langsung dan tidak langsung ke Novel, keluarga, dan pendampingnya,” kata Sri.
Menurut Sri, korban sebenarnya juga punya hak untuk berpatisipasi dalam proses hukum, seperti penyelidikan, penuntutan, hingga hak atas informasi proses peradilan tersebut.
“Untuk minta berita acara pemeriksaan (BAP) dan tuntutan jaksa saja, Novel tidak bisa,” kata dia. Selain itu, ada hak korban ketiga yakni hak reparasi menyangkut hak atas ganti rugi, kompensasi, dan pemulihan.
“Dengan sistem peradilan saat ini, korban tidak diberi tempat. Korban yang aktif dianggap melakukan intervensi perkara sehingga peradilan jadi tidak objektif,” tuturnya.
Ia menjelaskan, sistem peradilan yang restributif melihat korban sebagai bagian kepentingan publik, bukan orang per orang. Dampaknya, muncul delik viktimogen, atau upaya mereviktimasi korban, seperti kriminalisasi dan melaporkan balik korban.
“Ini mengabaikan kepentingan korban, tidak fair, dan gampang untuk kepentingan tertentu,” kata dia.
Ia menyatakan memang sudah ada UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mulai memberi ruang pada korban. Namun UU ini untuk kasus khusus dan tertentu, serta masih menghadapi sejumlah masalah dan kesenjangan antara ketentuan dan praktiknya. “Untuk kasus KDRT saja masih sulit, apalagi kasus dengan kepentingan-kepentingan politik,” imbuhnya.
Perdebatan pakar hukum soal keadilan restributif dan keadilan restoratif di sistem peradilan kita pun belum usai. “Soal partisipasi korban ini berat sekali pembahasannya. Sulit memasukkan ide bahwa korban bisa ikut terlibat dalam proses peradilan pidana,” tuturnya.
Alhasil kasus Novel menjadi cerminan sistem hukum pidana kita saat ini. Upaya aktif penyidik KPK itu dinilai sebagai langkah cari masalah, alih-alih sebagai pemenuhan hak korban. “Harapannya RUU Hukum Pidana dan KUHAP bisa dikawal agar perspektif korban bisa terpenuhi,” ujar Sri.