Jakarta, Gatra.com – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi “bola panas” ketika DPR mengesahkan draft RUU tersebut dalam sidang paripurna pada 12 Mei 2020. Tujuh fraksi yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN dan PPP menerima hasil kerja panitia kerja (Panja) RUU HIP.
Partai Demokrat tidak ikut dalam pembahasan RUU HIP, sedangkan fraksi PKS menyetujui dengan catatan RUU memasukkan keterangan TAP No XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Mantan Menko Polhukam Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan polemik RUU HIP sudah seharusnya disudahi. Kegaduhan yang berkembang di masyarakat menurut Tedjo harus ditangkap pemerintah sebagai masukan untuk menolak RUU.
“Karena timbul gejolak kemudian kita lihat pemerintah dalam hal ini presiden sudah arif, ini disarankan jangan dibahas, namun bahasanya ditunda sementara. Kalau kami-kami berharap bahwasanya ini tidak harus dipakai lagi, dibatalkan saja karena banyak kecurigaan dan kegaduhan masyarakat,” ungkap Tedjo ketika menjadi pembicara diskusi virtual “Ada Apa Dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila” yang diselenggarakan Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) pada Rabu (17/6).
Bekas Kepala Staf TNI Angkatan Laut itu menuturkan Pancasila yang ada saat ini sudah bersifat final dan berasal dari buah pikir para pendahulu bangsa (Founding Fathers) yang sudah mempertimbangkan persatuan dan kesatuan.
Rumusan Pancasila tercatat sudah mengalami pembahasan sebanyak sembilan (9) kali mulai dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Piagam Djakarta, Sidang BPU-PK, Sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. II/MPR/1978.
“Kita tidak tahu ini dilatarbelakangi apa, tetapi Pancasila dalam prosesnya beberapa kali dibahas. Pada saat [konsep] Muhammad Yamin kemudian [pidato Soekarno] 1 Juni, kemudian Piagam Jakarta. Terakhir yang kita pakai sekarang ini yang menjiwai UUD 1945 di dalam pembukaannya,” ujarnya.
Penggodokan draft RUU menurutnya juga terkesan dipaksakan saat bangsa tengah berjuang menghadapi krisis corona. “Di tengah pandemi ini DPR telah memunculkan polemik dengan rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Ini ditangkap oleh beberapa komponen masyarakat sesuatu hal yang agak aneh. Karena Pancasila ini sudah final ada apa lagi kita kukuh sekali dengan rencana Undang-Undang Ideologi Pancasila?”.
Ia mengatakan sosialisasi terhadap pengamalan Pancasila sebenarnya sudah dimulai di era orde baru dimana ada Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Saat itu program BP7 jalan tanpa keberadaan Undang-Undang dan pemerintah mampu mensosialisasikannya di tengah masyarakat.
“Tetapi mereka [pengusul] mengatakan bahwa Undang-Undang Ideologi Pancasila ini adalah payung hukum terhadap eksistensi dari BPIP. Tetapi kita melihat bahwasanya BPIP itu ada juga yang dinamakan BP7, toh tidak dipayungi Undang-Undang terus berjalan. Kita lihat sekarang hasilnya apa tidak jelas sampai saat ini oleh masyarakat secara langsung,” tegasnya.
Dengan dibentuknya RUU HIP menurutnya akan menurunkan derajat Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu menurutnya tidak etis dalam membangun semangat kebangsaan. “Payung hukum ini tentu saja akan mendegradasi Pancasila itu sendiri. Karena Pancasila adalah dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum. Karena semua undang-undang dasarnya dijiwai oleh semangat Pancasila”.
Dirinya berharap polemik RUU HIP disudahi tanpa melihat persoalan itu dalam tatanan politik praktis, melainkan kerangka keutuhan negara Republik Indonesia. “Justru di sini anggota BPIP sendiri dari kalangan purnawirawan yakni Pak Try Sutrisno sendiri menolak. Kemudian rencana Undang-Undang ini juga banyak ditolak oleh ormas-ormas Islam. Nah ini justru akan menimbulkan kegaduhan dari semangat Pancasila itu sendiri, semangat kebersamaan, persatuan kemudian musyawarah dan mufakat, ini akan men-downgrade,” pungkasnya.