Home Kebencanaan Sekitar 1,7 Miliar Penduduk Dunia Rentan Tergigit Covid-19

Sekitar 1,7 Miliar Penduduk Dunia Rentan Tergigit Covid-19

Jakarta, Gatra.com - Sekitar 1 dari 5 orang di seluruh dunia berisiko tergigit COVID-19 yang parah. Studi baru itu menempatkan sekitar 1,7 miliar orang di seluruh dunia dalam kondisi rawan. Livescience.com, 16/06.

Novel coronavirus telah menginfeksi lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan lebih dari 437.900, menurut angka terbaru Johns Hopkins. Virus ini telah berdampak parah pada beberapa orang, sementara hanya menyebabkan gejala ringan atau tanpa gejala pada orang lain, menurut laporan Live Science sebelumnya.

Studi menemukan bahwa kondisi, usia dan kemiskinan pemicu penyakit yang lebih parah. Sebagai contoh, para peneliti melaporkan kemarin (15 Juni) dalam jurnal Morbidity and Mortality Weekly Report bahwa penyakit bawaan telah memicu tingkat rawat inap adalah enam kali lebih tinggi. Dan tingkat kematian 12 kali lebih tinggi pasien COVID-19 di AS. Penyakit bawaan itu antara lain jantung, diabetes dan penyakit paru-paru kronis.

Sekarang, sekelompok peneliti telah memfokuskan secara khusus pada bagaimana kondisi yang mendasarinya akan berdampak pada keparahan infeksi virus pada populasi dunia.

Untuk memperkirakan risiko penyakit parah, para peneliti menganalisis beberapa set data termasuk data dari 188 negara yang dilaporkan dalam studi tahun 2017 yang menganalisis beban penyakit global, cedera dan faktor risiko serta data dari perkiraan populasi PBB 2020.

Menggunakan pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia dan lembaga di Inggris dan AS, para penulis mengelompokkan kondisi yang mendasari yang paling mempengaruhi risiko COVID-19 parah menjadi 11 kategori: penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal kronis, penyakit pernapasan kronis, penyakit hati kronis, diabetes, kanker dengan imunosupresi langsung (penindasan respon imun tubuh akibat kanker), kanker tanpa imunosupresi langsung tetapi dengan imunosupresi langsung dari pengobatan, HIV/AIDS, TBC, kelainan neurologis kronis dan kelainan sel sabit

Mereka menemukan bahwa sekitar 22% populasi dunia memiliki setidaknya satu kondisi mendasar yang membuat mereka berisiko terkena COVID-19 yang parah. Kurang dari 5% orang yang berusia di bawah 20 tahun melaporkan kondisi yang mendasari ini. Jumlah itu melonjak hingga lebih dari 66% dari mereka yang berusia di atas 70 tahun.

Terlebih lagi, diperkirakan 1 dari 25 orang, atau 349 juta orang di seluruh dunia, berisiko menderita COVID-19 yang parah dan akan memerlukan rawat inap jika terinfeksi, menurut temuan tersebut. Sekali lagi, risiko meningkat seiring usia. Rawat inap kurang dari 1% pada remaja di bawah 20 tahun. Sedangpan kada manula 70 tahun atau lebih,  20% memerlukan rawat inap.

Para penulis menemukan bahwa risiko infeksi parah paling tinggi di negara-negara dengan populasi yang lebih tua, negara-negara Afrika dengan tingkat HIV / AIDS yang tinggi dan pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat diabetes yang tinggi, menurut laporan itu.

"Kekuatan" dari model mereka adalah dapat dimodifikasi ketika data baru muncul dan "memungkinkan stratifikasi risiko lebih lanjut yang sangat dibutuhkan untuk menginformasikan pendekatan kesehatan masyarakat yang presisi," kata peneliti yang tidak terlibat dalam penelitian ini menulis dalam komentar.

Namun, penulis telah mengidentifikasi beberapa keterbatasan dalam pendekatan mereka, termasuk fakta bahwa mereka tidak menganggap usia sebagai faktor risiko independen dalam memprediksi tingkat keparahan penyakit. Dengan kata lain, mereka tidak memasukkan orang tua yang sehat tanpa kondisi kesehatan yang mendasari dalam penghitungan mereka, menurut The New York Times.

Terlebih lagi, perkiraan mereka tidak termasuk faktor risiko utama lainnya seperti etnis, kemiskinan dan obesitas, menurut laporan itu. Jadi, "perkiraan kami tidak pasti dan fokus pada kondisi yang mendasari daripada faktor risiko lainnya ... tetapi memberikan titik awal untuk mempertimbangkan jumlah individu yang mungkin perlu dilindungi atau divaksinasi saat pandemi global berkembang," tulis para penulis.

Temuan ini dipublikasikan kemarin (16 Juni) dalam jurnal The Lancet Global Health.

271