Home Internasional Periode Buruk Bisnis Penerbangan

Periode Buruk Bisnis Penerbangan

Industri penerbangan di seluruh dunia mengalami krisis karena pandemi COVID-19. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp1.200 triliun. Dana talangan besar-besaran digelontorkan.


Menggandeng beberapa perusahaan swasta, pemerintah Cina berencana membentuk maskapai penerbangan baru bernama Sanya International Airlines (SIA). Maskapai ini berbasis di Hainan Free Trade Port Zone dan fokus pada pengembangan wisata Pulau Hainan, yang berjarak lima jam penerbangan dari Hong Kong.

Senin lalu, China Eastern Airlines, Hainan Province Transport Investment Holding Co, Sanya Development Holdings, Juneyao Air, dan travel agency terbesar di Cina, Trip.com, menandatangani kesepakatan rencana kerja strategis untuk menyiapkan SIA. Maskapai baru itu dijadwalkan melantai di Bursa Efek Hong Kong pada Minggu, 21 Juni 2020.

China Eastern Airlines yang mayoritas sahamnya dipegang pemerintah Cina, akan menjadi pemegang saham utama di SIA sebesar 51%. Masih belum ada kepastian kapan maskapai ini akan mulai beroperasi, mengingat mereka tentu butuh proses untuk mendapatkan persetujuan dari regulator. 

Sejumlah pihak menilai langkah bisnis itu sangat berani, sebab dilakukan di era pandemi yang merontokkah bisnis penerbangan di banyak negara: dari Amerika Serikat, Prancis, hingga Indonesia.

Delta Air Lines pada Rabu, 10 Juni lalu, mengumumkan prediksi pendapatan mereka di kuartal II, yakni turun 90% dibanding kuartal sebelumnya. Mereka terpaksa menegosiasikan ulang utang-utang mereka agar tak bangkrut pada 2021. Di pekan yang sama, British Airways melempar rencana untuk memecat 4.300 pilotnya. Serikat kerja British Airline Pilots Association (BALPA) sedang melakukan lobi agar jumlah yang dipecat "hanya" 1.130 orang saja.

***

Di sisi lain, pemerintah Prancis berencana menyiapkan bantuan senilai 15 miliar euro (sekitar Rp241 triliun) untuk industri penerbangan mereka. Tujuannya, agar ratusan ribu orang yang bekerja di Airbus dan maskapai nasional Air France bisa tetap memiliki penghasilan. 

Sebanyak 7 miliar euro akan dialokasikan untuk Air France. Mitranya, KLM, didukung langsung oleh pemerintah Belanda. Dana talangan akan membantu mendorong pesanan pesawat Airbus baru Air France. Bagi Airbus, dana bantuan ini mencakup pula pembelian produk-produk militer mereka oleh negara.

"Pemerintah akan melakukan segalanya untuk mendukung industri Prancis ini yang sangat penting bagi kedaulatan kita, pekerjaan kita, dan ekonomi kita," ucap Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire, seperti dilaporkan oleh The Guardian.

Le Maire mengatakan, kesepakatan itu akan mencegah penurunan industri serta membantu membuat Airbus bisa bersaing dengan rivalnya di AS, Boeing, serta COMAC milik Cina, yang telah mengancam duopoli global.

Senada dengan itu, Cathay Pacific juga menerima dana talangan negara. Pemerintah Hong Kong menggelontorkan dana sebesar HK$40 miliar (sekitar Rp73,7 triliun).

Cathay adalah salah satu maskapai penerbangan pertama yang menderita kerugian terbesar sejak virus corona merebak di Cina. Pasalnya, sebagian besar penerbangan mereka beroperasi di Cina. Sebagai tambahan bantuan, pemerintah HK membentuk satu perusahaan baru yang nantinya akan membeli 6% saham Cathay serta meminjamkan dana HK$7,8 miliar (sekitar Rp14,4 triliun).

"Pemerintah tidak bermaksud menjadi pemegang saham jangka panjang di Cathay. Kami tidak akan terlibat dalam operasi dan manajemen maskapai," ucap Menteri Keuangan HK, Paul Chan.

Sekitar 90% staf di Cathay telah mengambil cuti tanpa dibayar. Adapun 600 pekerja di kantor pusat di-PHK bulan lalu, setelah Cathay menghentikan sebagian besar penerbangan di awal tahun. Bisnis mereka sesungguhnya sudah terpukul oleh turunnya jumlah penumpang setelah protes pro-demokrasi besar-besaran pada 2019.

***

Asosiasi Transportasi Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA) mengumumkan pada pekan lalu bahwa industri penerbangan menderita kerugian lebih dari US$84,3 miliar (sekitar Rp1.200 triliun) akibat pandemi COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir. Itu merupakan jumlah kerugian terbesar dalam bisnis penerbangan sepanjang sejarah.

"Ini adalah situasi kehancuran," keluh CEO Boeing, David Calhoun, dalam wawancara dengan NBC News. Ia memprediksi industri penerbangan masih akan dalam kondisi bertahan hingga tiga atau lima tahun mendatang. Hal ini karena orang-orang masih ketakutan untuk terbang dengan pesawat publik.

Dana bantuan pemerintah AS yang tertuang dalam The Coronavirus Aid, Relief, dan Economic Security Act (CARES Act) dinilai tak cukup. Meski undang-undang itu mengamanatkan gelontoran dolar ke banyak industri yang terhantam COVID-19, Calhoun memperkirakan anggaran tersebut akan habis pada September tahun ini. Alhasil, akan ada satu maskapai AS yang bangkrut, sehingga menyebabkan ribuan orang kehilangan pekerjaan.

Namun, CEO JetBlue Airways, Robin Hayes mencoba optimis. "Jika kita terus melakukan recovery seperti yang direncanakan, saya yakin tak akan ada maskapai Amerika yang bangkrut. CARES Act memberi perusahaan waktu untuk melakukan pemulihan," ujarnya, seperti dilaporkan AP News.

Flora Libra Yanti

Perang Dagang di Udara

 

Departemen Transportasi Amerika Serikat mengumumkan pada Rabu 3 Juni lalu, bahwa semua maskapai penumpang Cina akan dilarang terbang masuk ke AS sejak Selasa, 16 Juni 2020.

Pada awal pandemi COVID-19 merebak, sejumlah maskapai AS seperti American, Delta, dan United Airlines, menutup sementara rute mereka ke Cina. Di saat yang bersamaan, seluruh pesawat Cina masih bebas terbang masuk ke Negeri Paman Sam. Ketika perusahaan-perusahaan Barat itu mengajukan pembukaan lagi rute, pemerintah Cina pun menolak. Delta dan United mengajukan surat resmi, meminta agar mereka boleh terbang masuk Cina per 1 Juni 2020. 

Gerah dengan sikap Cina, kabinet Donald Trump turun tangan. "Departemen Transportasi akan terus mendorong Cina agar maskapai Cina juga AS bisa berfungsi maksimal sesuai dengan hak bilateral mereka. Kami akan mengizinkan maskapai Cina beroperasi sebanyak jumlah yang sama dengan jumlah maskapai AS yang bisa masuk ke Cina," demikian pernyataan resmi yang diterbitkan.

Pelarangan itu diberlakukan pada Air China, China Eastern Airlines, China Southern Airlines, dan Hainan Airlines.

Sebelumnya, pemerintah AS juga telah lama mengkritik Beijing terkait kebijakan aviasi ini. "Pemerintah Cina membuatnya menjadi mustahil bagi maskapai AS untuk terus beroperasi di Cina," demikian pernyataan pemerintah, dilansir Reuters. Washington, D.C. mengancam akan mengambil aksi khusus jika tidak ada kesepakatan yang dicapai. 

Namun indikasi perang dagang di udara itu, menurut pendiri China Market Research Grup, Shaun Rein, akan menimbulkan patriotisme bagi masyarakat Cina. "Mereka lebih memilih wisata di dalam negeri untuk menunjukkan kepada anak-anak mereka bahwa negara mereka besar dan menjadi kesempatan untuk mengajarkan akar budaya mereka," ujarnya kepada BBC.

 

Dampak COVID-19 bagi Industri Penerbangan

 

- Perkiraan penurunan pendapatan secara global sepanjang 2020: -US$314 miliar

- Revenue Passenger Kilometer (RPK) rute internasional pada April 2020 (y-o-y): -98,4

- Perubahan frekuensi penerbangan global pekan pertama Juni 2020 (y-o-y): -64,8%

- Estimasi kapasitas penerbangan Eropa pada Q2 2020 (y-o-y): -90%

- Arus penumpang harian di Eropa Barat pada 22 Maret 2020 (y-o-y): -90%

- Jumlah yang menilai positif upaya maskapai menghadapi pandemi (secara global): 25%

Sumber: Statista