Jakarta, Gatra.com – Pusaran konflik hegemoni yang diikuti unjuk kekuatan militer AS-Cina di Laut Cina Selatan (LCS) kian menunjukkan eskalasi ketegangan yang mengkhawatirkan. Kehadiran kapal tempur kedua negara yang siap baku hantam membuat situasi di LCS dan wilayah ASEAN menjadi “panas-dingin”.
Pengamat militer dan pertahanan Muhammad Haripin mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya mewaspadai meningkatnya ketegangan di LCS. Suasana pandemi yang melanda tanah air menurutnya tidak harus membuat pemerintah kehilangan fokus “menangkap” dinamika geopolitik dan geostrategis yang terjadi khususnya di ASEAN.
“Terkait LCS, pemerintah Indonesia perlu mewaspadai potensi ketegangan di wilayah tersebut sejak dini. Kebijakan yang reaktif seperti pengerahan kekuatan secara tinggi namun dalam jangka waktu pendek cenderung tidak efektif dan berbiaya tinggi,” ujar Haripin dalam keterangannya kepada Gatra.com, Selasa (16/6).
Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional LIPI itu menyebutkan Indonesia dapat memainkan peranan dalam kerangka kerja sama multilateral seperti ASEAN Maritime Forum serta Extended Maritime Forum, ASEAN Regional Forum dan East Asia Summit, dimana AS dan Cina berada di dalamnya.
“Oleh karena itu, pendekatan diplomasi mesti tetap diutamakan melalui saluran-saluran komunikasi di berbagai forum multilateral misalnya ASEAN,” ungkapnya. Secara geopolitik, Indonesia menurutnya berkesempatan menanamkan pengaruh di kawasan ASEAN. Pusaran konflik AS-Cina seharusnya membawa inisiatif bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya untuk bersatu memperkokoh stabilitas kawasan.
Terkait klaim Cina, menurut Haripin, Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat yakni keputusan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS). Merujuk konvensi UNCLOS 1982, termasuk wilayah Indonesia adalah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang didefinisikan sebagai negara terbentang sejauh 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Wilayah tersebut termasuk Laut Natuna Utara.
“Yang bagian [wilayah] Indonesia itu yang dinamai Laut Natuna Utara. Jadi tumpang tindih antara klaim nine-dashed-line RRT dgn ZEE Indonesia. Posisi Indonesia sendiri kuat karena berdasarkan konvensi UNCLOS,” ujar penulis buku “Civil-Military Relations in Indonesia: The Politics of Military Operations Other Than War” itu.
Terkait konflik LCS, banyak pengamat dan analisis berpendapat pengamanan di wilayah ZEE penting diperhatikan pemerintah Indonesia. Kemampuan mempertahankan kedaulatan di wilayah Laut Natuna Utara dapat dilakukan TNI dengan melaksanakan pendeteksian, pengamatan, pengintaian dan pengamanan terhadap seluruh wilayah udara dan perairan nasional.
Haripin menyebutkan sejauh ini belum terdapat kesamaan persepsi terhadap pola pengamanan di LCS. Komando yang spesifik akan membuat TNI bersigap untuk melakukan operasi di wilayah tersebut. “Tergantung apakah satu suara terkait pengerahan kekuatan itu. Pengalaman yang lalu-lalu kan pemerintah ini membingungkan,” katanya.
Menurutnya perlu kebijakan yang tepat serta ketegasan untuk menyelesaikan persoalan konflik di LCS. “Masalahnya chain of command tidak kuat atau tidak terpadu di level kepemimpinan nasional,” pungkasnya.