Cina menekan Australia lewat beragam jurus diplomatik. Negeri Panda itu sedang memperagakan perubahan gestur politik luar negerinya. Gaya diplomasi Deng Xiaoping mulai ditinggalkan.
Kementerian Pendidikan Cina, pada Selasa pekan lalu mengingatkan warganya untuk lebih berhati-hati. Alasannya, terjadi lonjakan diskriminasi rasial terhadap orang-orang Cina di Negeri Kanguru saat pandemi COVID-19.
Peringatan dari Kementerian Pendidikan Cina menyusul travel warning yang diterbitkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Kementerian Luar Negeri Cina. Media pro pemerintah, Global Times, menyebutkan bahwa diskriminasi menargetkan orang-orang Cina di Sydney, Melbourne, Brisbane, dan kota-kota Australia.
Terhadap pernyataan Beijing itu, para petinggi Australia memberi tanggapan. Wakil Perdana Menteri Australia, Michael McCormack, menyebut belum ada gelombang kekerasan terhadap rakyat Cina di negaranya. Menteri Keuangan Australia Mathias Cormann malah mengampanyekan Australia sebagai tujuan belajar mahasiswa dari berbagai negara. "Setiap siswa di seluruh dunia yang mempertimbangkan untuk kuliah di negara asing, kami mendesak untuk mempertimbangkan Australia sebagai tujuan," ujarnya seperti dilaporkan CNBC.
Bisa dipahami jika pemerintah Australia terlihat sedikit panik. Travel warning itu menjadi pukulan dari Cina untuk kesekian kalinya bagi perekonomian Australia. Siswa internasional adalah pasar yang sangat penting bagi negara itu. Negara itu menerima pemasukan sekitar US$20 miliar (Rp194 triliun) setiap tahun dari kehadiran mahasiswa asing. Sekitar 38% dari total mahasiswa asing di Australia, berasal dari Cina.
Demikian juga wisawatan Cina. Menurut data dari Tourism Research Australia, pelancong dari Cina daratan jumlahnya naik 1,2% year-on-year menjadi 1,3 juta per September 2019. Belanja mereka naik 6,8% menjadi AUS$12,3 miliar, menyumbang 27% dari total belanja wisatawan asing selama periode tersebut. Cina menjadi penyumbang terbesar wisawatan mancanegara bagi Australia.
***
Sebelum memberi tekanan terhadap sektor pendidikan dan pariwisata Australia, Cina telah menetapkan tarif tinggi pada jelai (barley) Australia dan melarang impor beberapa jenis daging sapi. Namun Cina tidak menyentuh tiga komoditas penting Australia lainnya, yaitu bijih besi, batu bara, dan gas. Bisa jadi karena tidak mudah untuk mencari substitusi dari ketiga komoditas itu.
Tekanan kepada Australia diungkapkan pertama kali pada April lalu. Saat itu, Duta Besar Cina untuk Australia mengancam akan memboikot ekonomi Australia jika Pemerintah PM Morrison mendorong penyelidikan independen tentang asal-usul virus COVID-19. Cina tidak senang dengan langkah Australia untuk menjadi bagian dari kampanye anti-Cina pemerintahan Trump.
Cina rupanya sudah lama menahan diri. Mereka memiliki daftar panjang keluhan tentang kebijakan Australia, seperti partisipasi AL Australia dalam latihan militer dengan Amerika Serikat di Laut Cina Selatan, pelarangannya terhadap Huawei dalam pengembangan infrastruktur 5G, posisi Australia terhadap Undang-Undang Hong Kong, dan banyak isu lainnya.
Menurut profesor ilmu politik dan hubungan internasional Universitas Bucknell, Zhiqun Zhu, kali ini Cina mengubah gestur politiknya. Pendekatan Beijing yang biasanya halus terhadap hubungan luar negeri, warisan Deng Xiaoping (dalam bahasa Cina dikenal sebagai taoguang yanghui yang melibatkan sikap rendah hati) sekarang menjadi sejarah.
Cina diprediksi akan melanjutkan pendekatan diplomatiknya lebih keras dengan menghukum negara-negara yang membuat keputusan yang tidak disukai Beijing. Pertanyaannya, apakah pendekatan itu akan efektif? Masih bisa diperdebatkan. "Pendekatan baru ini masih dikembangkan," kata Zhu.
"Apakah Cina "membunuh ayam untuk menakut-nakuti monyet", itu terserah negara lain untuk menafsirkannya," kata Zhu lagi sambil menyitir pepatah Cina kuno yang berarti menghukum entitas kecil untuk memperingatkan entitas lebih besar.
***
Menurut Ben Lowsen, pakar keamanan Cina yang juga penasihat kelompok studi strategis Angkatan Udara AS, Checkmate, kebijakan hubungan luar negeri baru dan lebih tegas ini dikenal dengan julukan diplomasi Wolf Warrior. Nama itu menyitir judul film tentang para pejuang Cina mengalahkan musuh yang dipimpin orang Barat. Karakter lugas ini dipertegas oleh pemimpin Cina yang lebih lantang pada sosok Xi Jinping.
Perubahan gaya diplomasi itu terlihat pada perlakuan terhadap Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham. Tiga minggu sejak Cina menetapkan tarif baru untuk barley Australia, Birmingham selalu gagal menelepon sejawatnya, Menteri Perdagangan Cina Zhong Shan. "Tidak menjawab telepon Birmingham menunjukkan dua hal. Xi tidak berniat untuk mengubah tarif saat ini sambil terus menekan Australia, dan Zhong menekankan keseriusan "penghinaan" terhadap mitra Australia-nya," kata Lowsen.
Richard Maude, Asia Society Australia Senior Fellow dan mantan Wakil Sekretaris Grup Indo-Pasifik di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, mengatakan bahwa perubahan sikap keras Cina terhadap Australia makin berkembang seiring perselisihan Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan sekitar 2012. "Diplomasi Wolf Warrior baru-baru ini di Cina hanyalah iterasi terbaru dari perubahan yang sudah berlangsung lama menuju kebijakan luar negeri Cina yang lebih agresif," ucapnya seperti dikutip laman South China Morning Post.
Namun, ini bukan pertama kalinya Cina bersikap dingin kepada negara lain. Pada 2010, hubungan diplomatik dengan Norwegia memburuk tajam setelah Hadiah Nobel Perdamaian diberikan kepada penulis dan aktivis Cina, Liu Xiaobo, "atas perjuangannya yang panjang dan tanpa kekerasan untuk hak asasi manusia yang mendasar di Cina".
Penghargaan kepada Liu yang berada di penjara itu, dikecam oleh pemerintah Cina dengan menyebutnya sebagai mengusik urusan dalam negerinya. Ketegangan berlangsung selama enam tahun. Tidak ada pertemuan bilateral yang diadakan dan Cina membatasi impor salmon Norwegia hingga 2016.
Rosyid