Yogyakarta, Gatra.com - Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada menyebut aktor intelektual kasus penyiraman air keras pada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan masih punya peluang untuk diungkap, meski banyak kejanggalan di sidang kasus itu.
Peneliti Pukat UGM Yuris Reza menyatakan kunci kasus ini kini tergantung kebijaksanan hakim dalam menggunakan kewenangan untuk menggali fakta hukum dan memberikan pertimbangan. “Pertimbangan dari putusan hakim tersebut bisa menjadi dasar pengembangan kasus ini,” ujar Yuris, saat dihubungi Gatra.com, Senin (15/6).
Dugaan adanya aktor intelektual di kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan yang menyidik kasus-kasus besar. “Enam kasus dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Tapi, hal tersebut tidak berhasil diungkap di proses persidangan,” kata dia.
Dalam sidang itu, terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, hanya dituntut satu tahun penjara oleh jaksa. Hal itu salah satu poin yang dinilai janggal oleh Pukat UGM. Pernyataan jaksa bahwa tindakan terdakwa tidak ada niat juga patut dipertanyakan.
Menurut Yuris, tidak terpenuhinya unsur rencana itu pemahaman hukum pidana yang keliru. Padahal terdakwa melakukan pengintaian dan menyiapkan air keras. Di sisi lain, jaksa juga salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan.
“Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel,” tutur Yuris.
Pukat UGM juga menyatakan pasal yang dikenakan semestinya bukan pasal tentang penganiayaan biasa, 353 ayat (2) KUHP, melainkan pasal penganiayaan berat, pasal 355 ayat (1) KUHP.
Penyiraman air keras ke tubuh Novel oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa.
Yuris mencontohkan sejumlah kasus penyiraman air keras seperti di Mojokerto, Surabaya, Palembang, dan Bengkulu. “Kalau mengacu kasus penyiraman air keras terdahulu, kasusnya dituntut 10 tahun atau lebih. Ini cukup memberi gambaran bahwa tuntutan di kasus Novel sangat kecil,” tuturnya.
Selain itu, jaksa dinilai lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa. “Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar,” kata dia.
Jaksa juga mengabaikan barang bukti semisal air keras, rekaman CCTV, dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta dan Komnas HAM. Pukat UGM menilai tuntutan tersebut mencederai keadilan karena jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara.
Motif rasa tidak suka terhadap Novel pun dianggap tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel. Di sisi lain, Novel tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa.
Menurut Yuris, harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini memang tergantung hakim. “Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara objektif, dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat,” tuturnya.