Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan bahwa aspek kerangka hukum yang diterapkan pemerintah membingungkan. Pemerintah seharusnya melihat apa kerangka hukum yang tepat dalam konteks pandemi. Kerangka hukum ditentukan dalam dua prasyarat: keadaan bahaya, dan kegentingan yang memaksa.
Dalam konteks pandemi, pemerintah sesungguhnya memiliki tiga opsi kerangka hukum yang tersedia di dalam Undang-Undang (UU): UU Kekarantinaan Kesehatan; UU Penanggulangan Bencana; dan UU Wabah Penyakit Menular. Namun, alih-alih menggunakan ketiga opsi tersebut, pemerintah justru memilih kedaruratan kesehatan.
"Sementara pemerintah tidak menggunakan itu. Padahal ketiga opsi itu tidak merusak apalagi bermasalah. Lalu, cepatkah pemerintah merespons situasi pandemi?" kata Bivitri pada telekonferensi pers, Minggu (14/6).
Pada akhirnya, keputusan untuk menerapkan PSBB, misalnya, juga terlalu lama. Dalam catatan Bivitri, kebijakan itu baru diterapkan pada 31 Maret. Sementara itu, ada wacana normal baru yang melonggarkan pembatasan sosial, padahal dalam empat hari terakhir kurva semakin meningkat.
"Pengambilan kebijakan harus menggunakan data yang reliable, dan bisa dipertanggungjawabkan," ucap Bivitri.
Selanjutnya, aspek pemenuhan hak. Apakah kak kesehatan masyarakat selama pandemi itu terpenuhi? Layanan kesehatan, sambungnya, jadi tanda tanya besar. Misalnya, PCR sama sekali tidak gratis untuk masyarakat, bahkan juga tidak terbilang murah.
"Kemudian layanan kesehatan secara umum rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk terlalu kecil. Ini evaluasi yang baik untuk melihat layanan kesehatan," ujarnya.
Untuk itu, kata Bivitri, pemerintah sudah seharusnya responsif dalam menerapkan kebijakan. Betul bahwa aspek ekonomi Indonesia tidak begitu kuat untuk menahan pandemi. Namun, tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam hal ini responsif atau tidak responsif.
Aspek yang perlu disoroti terakhir adalah aspek kelembagaan. Pertanyaan seperti: Bagaimana hubungan pusat dan daerah? Apakah ada potensi korupsi selama pandemi? Apakah agenda wakil rakyat sejalan dengan konteks pandemi?
Menurut Bivitri, di saat wabah seperti sekarang, wakil rakyat justru tidak merefleksikan masyarakat. Pasalnya, ketika diguncang pandemi, DPR malah sibuk merevisi UU MK, malanggengkan UU Minerba, sementara di satu sisi, masyarakat tidak memungkinkan untuk berpartisipasi mengawasi agenda tersebut di situasi seperti sekarang.
"Banyak fakta bahwa rapat-rapat itu tertutup untuk masyarakat. Perhatian kita bukan untuk itu sekarang. Tidak bersambungnya wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya, sehingga perlu ada reformasi birokrasi," tutupnya.