Jakarta, Gatra.com - Pemerintah Indonesia terus gencar mencegah dan menindak peredaran berbagai produk paslu yang melanggar kekayaan intelektual. Berbagai perusahaan pemilik merek dan hak cipta, di antaranya The Procter & Gamble Company (P&G) mendukung langkah tersebut.
Untuk mencegah atau menangkal masuk dan beredarnya barang palsu, pemerintah Indonesia selain menerbitkan berbagai aturan, juga akan membuat unit khusus untuk menangani barang palsu. Unit ini berada di bawah Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemekeu).
Pemerintah melalui Kemenkeu telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.04/2018 tentang Perekaman, Pencegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual untuk mengurangi dan mencegah impor ekspor barang palsu.
Melalui peraturan tersebut, pemilik merek atau hak cipta yang terdaftar di Dirjen Kekayaan Intelektual Kemeterian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemekum HAM) untuk mencatatkan kekayaan intelektualnya di Dirjen Bea dan Cukai.
Jika telah terdaftar, maka Bea dan Cukai Kemenkeu akan memberikan pemberitahuan atau notifikasi kepada pemilik KI Terdaftar apabila ada dugaan kegiatan impor atau ekspor barang palsu.
Untuk mendukung pemerintah, kata Nararya Sanggramawijaya Soeprapto, Direktur P&G, dalam keterangan tertulis, Minggu (13/6), pihaknya sebagai salah satu produsen barang konsumsi telah mencatatkan KI Terdaftarnya di Bea dan Cukai Kemenkeu.
Sementara itu, Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara Direktorat Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai, Khoirul Hadziq, menyampaikan, manfaat berantainya juga diterima oleh konsumen.
Pasalnya, lanjut dia, konsumen dapat menerima produk yang terbaik, produk asli berkualitas, dan pemiliknya tidak dirugikan. Biasanya, barang-barang palsu diimpor atau diproduksi di Republik Rakyat Tiongkok (Cina).
Pihak Bea Cukai juga menegaskan, tujuan dibuatnya PP 20 Tahun 2017 dan PMK 40 Tahun 2018 untuk melindungi kepentingan usaha pemilik KI Terdaftar dan melindungi para konsumen di Indonesia dari kerugian yang diderita.
"Karena memang dalam praktiknya, khususnya terkait dengan produk fast moving consumers goods yang melanggar KI Terdaftar, biasanya memiliki kandungan bahan ataupun kimia yang berbeda dengan produk asli," ungkapnya.
Komposisi atau kandungan berbahaya serta pemalsuan produk tersebut tentunya sangat memungkinkan merugikan kesehatan bagi konsumen yang menggunakan barang palsu itu.
Bea dan Cukai akan terus melakukan sosialisasi dan mengajak perusahaan untuk mendaftarkan KI Terdaftarnya di Bea Cukai. Diyakini, semakin banyak HKI Terdaftar maka kian kuat perlindungan dan pencegahan kerugian yang timbul bagi masyarakat karena adanya produk palsu yang dijual di Indonesia.
Lebih lanjut, Khoirul menambahkan, Bea Cukai akan membuat unit khusus untuk menangani kasus pelanggaran Kekayaan Intelektual. Pembentukannya paling lambat pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
"Ini juga menjadi bentuk keseriusan kami dalam menjalankan PP 20 Tahun 2017 dan PMK 40 Tahun 2018. Dengan tim ini, nantinya kami berharap kasus-kasus pelanggaran KI dapat ditangani dengan lebih fokus, lebih efektif, dan cepat," ujarnya.
Kuasa Hukum The Gillette Company, anak perusahaan P&G dari firma hukum K&K Advocates – intellectual property, Fajar Budiman Kusumo, mengapresiasi langkah dan komitmen Bea Cukai. Menurutnya, ini salah satu ikhtiar perwujudan program pemerintah untuk selalu melindungi investor-investor di Indonesia.