Jakarta, Gatra.com – Eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) belakangan meninggi. Tensi itu terlihat dari unjuk kekuatan militer Cina dan Amerika Serikat (AS) di perairan LCS yang dekat dengan Kepulauan Natuna, Indonesia. Hubungan kedua negara yang memburuk akibat saling tuduh dari krisis corona (Covid-19) berimbas pada ketegangan di LCS.
Sementara itu sengketa antara Indonesia dengan Cina juga belum usai. Cina tidak mau mengakui teritorial Indonesia di LCS sesuai ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982. Pihak keamanan Indonesia bahkan cenderung direpotkan dengan manuver provokatif Cina di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Padahal Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 sudah menyatakan Tiongkok tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah di perairan LCS. Namun pemerintah Cina hingga saat ini tidak menerima putusan tersebut. Mereka berkukuh LCS adalah teritorial Cina berdasarkan pada sejarah nenek moyangnya.
Pengamat militer dan pertahanan, Wibisono mengatakan Cina akan terus memainkan proxy war dan strateginya dalam menguasai LCS yang dekat dengan Natuna. “Kalau kita lihat sejarahnya Laut Cina Selatan dianggap tempat memancingnya nenek moyang (leluhur) bangsa Cina. Dan mereka kalau sudah mengklaim tidak akan melepas wilayah tersebut ke negara lain,” ujar Wibi dalam keterangannya kepada Gatra.com, Sabtu (13/6).
Dirinya berpandangan Indonesia tidak usah “kecut” dengan klaim sepihak tersebut karena sudah ada putusan Mahkamah Arbitrase PBB. Ia mengatakan upaya masuknya Cina ke wilayah perairan LCS dengan sumberdaya militernya menunjukkan proxy war yang dimainkan Tiongkok terhadap negara di Asia Tenggara dan juga Amerika.
Baca juga: LCS Memanas, Cina Klaim Sepihak, Kedaulatan RI Harga Mati
LCS menurutnya akan menjadi arena pertempuran wilayah untuk kepentingan dagang, militer dan pertahanan. “Perang proxy war antara Cina dan AS akan berlanjut terus sampai kapanpun. Inilah bentuk Perang Dunia-3 yang akan terjadi di depan mata,” ujarnya.
Wibisono berpandangan politik Indonesia yang bebas aktif bukan berarti pemerintah Indonesia tidak ikut ambil bagian dalam konflik LCS. Indonesia menurutnya dapat berperan aktif menurunkan ketegangan bahkan menjadi juru damai dalam sengketa LCS.
Dalam geopolitik dan geostrategi, Indonesia menurutnya juga harus hati-hati dengan politik kebijakan Cina. “Apalagi nama LCS telah dirubah dengan nama Laut Natuna Utara. Pihak Cina tidak bisa mengklaim itu wilayahnya. Namun apa daya pemerintah Indonesia sudah tersandera dengan menandatangi MoU 23 proyek OBOR di Beijing pada April 2019 lalu. Jelas kita sudah enggak berkutik,” ucapnya.
Posisi Indonesia, terang Wibi, cukup sulit dengan terbatasnya anggaran pertahanan serta proxy war yang sudah lebih dulu dimainkan pemerintah Cina lewat proyek kebijakan. “Saya pernah menulis tentang teori perang modern yang berkembang menjadi perang asimetris Cina terutama tentang ambisi negara tersebut menyukseskan jalur sutera yang pernah digagas nenek moyangnya sejak zaman kerajaan. Sekarang dikenal dengan Proyek OBOR di sepanjang Eropa-Asia,” pungkasnya.