Jakarta, Gatra.com - Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI), Prof. Dr. Ade Saptomo, mengatakan bahwa pengacara siber (cyber lawyer) harus mempunyai kompetensi informasi teknologi serta adaptif terhadap berbagai perubahan yang sangat deras, di samping mumpuni ilmu hukum dan perundang-undangan.
"Kata Pak Laks [Laksanto] itu mau atau tidak, suka atau tidak orang ini akan tergiring oleh arus sosial, arus hukum, politik, dan arus pekembagan peradaban teknologi informasi," kata Ade dalam webinar bedah buku Cyber Lawyer karya Dr. Laksanto Utomo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Senin (8/6).
Menurut Ade, pada abad 21 ini ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka siapapun yang mau memenangkan persaingan harus menguasainya, termasuk advokat atau pengacara.
"Maka mau atau tidak, dia pun akan ke bawa ke sana. Apalagi paham, mengerti sehingga ikut numpang dalam arus itu, sehingga tidak ketinggalan," katanya.
Kemudian, lanjut Ade, sebagaimana penulis sampaikan bahwa pengacara siber juga harus mempuyai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Ia berpendapat, apapun profesinya, maka harus mempunyai 3 watak.
"Saya selalu bilang watak dalam menekuni apakah itu pengacara, dosen, pedagang, dan sebagainya. Pertama adalah adaptif, responsif, dan progresif. Barang siapa tidak adaptif, ya akan ditinggal, wong ikut saja ditinggal, apalagi tidak adaptif," ujarnya.
Ketika penerapan teknologi informasi sudah sangat masif, maka selain adaptif harus responsif dan berpikir ke depan atau progresif. "Dengan adaptif, responsif, dan progresif maka selamat semuanya," ucap Ade.
Sedangkan soal pengacara dalam era pancaroba atau ketidakpastian akibat berkemangnya teknologi informasi, maka pengacara harus berhati-hati serta melipir supaya tidak terbawa arus dan terombang ambing serta agar bisa sampai ke tujuan.
"Mungkin sebagian besar pegacara itu cemas karena arus tadi, yakni ada reformasi hukum di Indonesia. Reformasi hukum itu, dulu setiap UU kalau dibaca mengingat menimbang, ada nuansa sentralistik, ketika 98 disentralistik dengan segala implikasinya," ungkap Ade.
Selain itu, lanjut profesor yang di antaranya mengajar di Universitas Pancasila, Jakarta itu, juga terjadi perubahan dari pendekatan deduktif menjadi induktif dan dari etik menjadi etnik, sehingga seorang pengacara tidak cukup hanya memahami hukum positifistik yang dilahirkan dari proses legislasi. Kalau mau eksis, pengacara harus menguasai hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Kemudian liberisasi klien hukum. Ini juga dibantu teknologi yang mengarah ke individualisasi. Sementara di sisi lain, ada komunal sehingga harus pandai menempatkan dan berkomunikasi saat beradi di komunal maupun individual.
"Jadi harus tahu kapan saya harus menginjakkan kaki di komunal original, komunal Indonesia, dan kapan menjadi individual," ujarnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, menyampaikan, ?buku ini bisa memotivasi lulusan fakultas hukum untuk menjadi advokat atau pengacara, khususya pengacara siber.
Terlebih, lanjut Farida, menjadi advokat menjadi favorit sebagian besar mahasiswa fakultas hukum di Makassar. Ini berbeda ketika 6 tahun lalu, hanya sebagian kecil yang ingin berprofesi sebagai pengacara.
"Beberapa tahun terkhir ini pengacara menjadi dunia favorit. Dulu saat sata mengajar etika profesi, kalau saya tanya, siapa yang mau jadi pengacara, tidak ada yang angkat tangan. Jadi seakan-akan profesi terakhir kalau tidak ada lagi pilihan. Ini di Makassar," ujarnya.
Namun, 6 tahun kemudian, ketika Farida bertanya kepada mahasiswa siapa yang mau berkarier sebagi advokat, sebagian besar mengangkat tangan. "Itu luar bisa. Apalagi kalau sudah dismpaikan penghasilan yang tinggi," ujarnya.
Menurut Farida, pengacara merupakan profesi yang menantang dan tandanganya sangat luas. sehingga pengacara harus mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi dan soft skill, misal kemampuan dalam berkomunikasi, pemecahan masalah, dan lain-lain.
"Legal skill. Pengacara itu harus tahu hukum yang luas, apalagi pendekatannya pada cyber lawyer. Cyber lawyer ini harus mempunyai pengetahuan hukum yang luas, bukan hanya pengetahuan biasa, tapi aspek-aspek hukum yang terkait dunia siber tadi. Ya UU ITE dan seterusnya itu harus kita pahami," katanya.
Selain itu, advokat juga harus mengusasi bahas asing karena persaingan ke depan bukan lagi antarsemasa advokat di Tanah Air, tetapi dengan advokat dari luar negeri. "Kemampuan bahasa asing menjadi mutlak, teknologi informasi, dan pemahaman hukum [juga]," katanya.
Kaprodi S3 PTIK, Kombes Pol. Dr.? Hadi Purnomo, M.H., menyampaikan, perkembangan teknologi informasi sangat cepat dan mengubah tata kehidupan. Bahkan, perkembangannya lebih cepat daripada yang diprediksi Jack Ma, Chairman Eksekutif e-commerce terbesar Tiongkok.
"Jack Ma memprediksi teknologi akan mencapai puncaknya pada 2030. Tapi dengan adanya pandemi Covid-19, kita diakselerasi melek teknologi informasi, begitu pula bagi advokat, dia bukan hanya kuasai soal legal yang berlaku di dalam dan luar negeri, tetapi harus melek teknologi dan dinamika masyarkat soal budaya dan interaksinya," kata dia.
Menurutnya, ketika menangani kejahatan siber (cyber crime), tetunya berbeda dengan menangai kasus konvensional, sehingga apakah teknologi ini lawan atau kawan, maka pengacara siber harus berbasis pada teknologi informasi.
"Maka kompetensi advokat ke depan base on internet, yaitu bagaimana kita mengadopsi kemajuan teknologi dan informasi, misalnya seorang sebagai konsultan, kemudian bagaimana konsultasi itu melalui teknologi informasi," ujarnya.