Amerika Serikat dalam situasi yang rumit. Aksi demonstrasi antirasisme menuntut persamaan hak kulit hitam banyak berujung kerusuhan dan penjarahan. Dampak kerusuhan dinilai memperburuk kondisi ekonomi secara siginifikan dan jangka panjang.
Efek pandemi virus Corona terhadap tingkat pengangguran di Amerika Serikat telah mencapai level mengkhawatirkan sejak era Depresi Besar pada 1929. Kondisi ini diperparah dengan maraknya demonstrasi di sejumlah kota dalam dua pekan terakhir terkait kematian warga sipil kulit hitam, George Floyd. Pria 46 tahun itu dibunuh oleh sekelompok polisi kulit putih di aspal Kota Minneapolis pada 25 Mei silam.
VOA melaporkan, selagi para pebisnis tengah berupaya membersihkan puing-puing toko mereka yang hancur terdampak aksi massa demonstran, makin marak pula kekhawatiran bahwa akan terjadi kehancuran ekonomi di sejumlah daerah yang mengalami kekerasan. Kondisi ini diduga akan terjadi jauh lebih lama dan lebih panjang bahkan usai demo brutal mereda.
Keresahan membuat keraguan tentang pembukaan kembali sebagian bisnis yang tadinya direncanakan Negara Bagian Chicago mulai pada Rabu, 4 Juni lalu. Akibat demonstrasi, Wali Kota Lori Lightfoot memberlakukan jam malam mulai pukul 09.00 malam sampai 06.00 pagi. Atas permintaan Lightfoot, Gubernur Illinois J.B. Pritzker mengirim 375 tentara Garda Nasional. Semua layanan bis dan kereta api ditangguhkan mulai pukul 06.30 malam.
Lightfoot mengatakan, kekerasan telah memaksa kota untuk mempertimbangkan menunda pembukaan kembali bisnis, yang telah ditutup selama 10 minggu karena Covid-19. "Saya melihat kerja keras masyarakat, uang serta sumber daya benar-benar membara dalam kobaran api, sementara properti mereka runtuh, dan itu memilukan," ucapnya.
Sekitar 135 properti di kawasan pusat bisnis Chicago mengalami kerusakan senilai jutaan dolar. Menurut Presiden dan CEO dari Magnificent Mile Association, Kimberly Bares, jumlah itu diperkirakan akan meningkat ketika lebih banyak laporan masuk. “Dulu, kami fokus pada penyediaan sanitasi dan kebersihan dan menciptakan tempat yang aman bagi orang-orang untuk kembali setelah Covid-19. Sekarang kita harus berusaha memastikan orang merasa aman ke mana pun mereka pergi,” ia menjelaskan.
Sementara itu, Wali Kota Washington D.C., Muriel Bowser mengataka dirinya khawatir gelombang protes itu dapat memicu peningkatan kasus Covid-19. Sebagai catatan, Washington telah memulai tahap pertama pembukaan kembali pada 29 Mei 2020."Kami melihat pertemuan massa banyak terjadi. Pada dasarnya kami telah bekerja keras selama 10 minggu terakhir untuk tidak mengadakan pertemuan massal," kata Bowser, dilansir Fortune.
Wali Kota New York, Bill de Blasio mengemukakan kekhawatiran serupa tentang kemungkinan peningkatan kasus virus karena kedekatan orang-orang yang melakukan protes, yang disebutnya "berbahaya secara inheren." Kota itu dianggap masih belum memenuhi ambang batas untuk tempat tidur rumah sakit yang tersedia untuk memenuhi syarat untuk pembukaan kembali 8 Juni yang dijadwalkan.
De Blasio mengatakan kekerasan tidak akan menunda rencana kota untuk memulai kembali pelaksanaan pembangunan, manufaktur, grosir, dan bisnis retail. Tetapi biaya pengamanan kota selama berhari-hari protes harus ditambahkan ke anggaran yang sudah di bawah tekanan dari anggaran yang disusun beberapa waktu lalu.
Kota-kota yang terpukul oleh pembengkakan anggaran mengatasi pandemi hampir tidak mampu membayar biaya tambahan untuk polisi yang lembur, langkah-langkah keamanan, dan kerusakan akibat protes. Bahkan sebelum demonstrasi, bank sentral AS dan Presiden Donald Trump telah berada di bawah tekanan untuk melakukan lebih banyak untuk negara bagian dan kota-kota.
Masalah terbesar adalah level pengangguran yang sebanyak era Depresi dulu telah terjadi di seluruh AS. Belum lagi ditambah ancaman resesi di masa mendatang. Pada akhir Mei, Kantor Anggaran Kongres menyampaikan analisis kepada parlemen yang memperingatkan bahwa virus Covid-19 akan berdampak buruk bagi perekonomian selama sebagian besar dekade mendatang, memotong sekitar US$8 triliun dari produk domestik bruto (PDB) selama periode itu.
“Saya pikir orang akan menyadari bahwa pekerjaan mereka mungkin tidak akan kembali atau kembali dengan cepat. Ini semua menyatu dengan kondisi ketegangan rasial dan benar-benar memanas,” kata kepala ekonom di Moody"s Analytics, Mark Zandi. "Ini menandai kedalaman keputusasaan di Amerika," ujarnya, mengengutip fakta tentang adanya peningkatan 20% angka pengangguran dan 50 juta pekerja yang telah kehilangan pekerjaan atau memiliki pemotongan gaji.
Namun, kondisi kerusuhan sangat kontras dengan optimisme pasar baru-baru ini. Reli 36% terjadi di S&P 500 sejak Maret telah mendorong valuasi ke level tertinggi dalam 20 tahun.
Dilansir Financial Times, investor menilai, jika protes berlanjut lebih lama dari yang diharapkan dan menyebabkan lebih banyak kerusakan ekonomi di kota-kota, maka dapat menimbulkan ancaman bagi reli pasar tersebut. Tidak hanya itu, analis pada RBC Capital Markets memperingatkan bahwa kepercayaan konsumen, yang merupakan pendorong utama kinerja pasar saham, dapat menurun akibat kerusuhan sipil yang berkelanjutan.
"Dampak kerusuhan mungkin lebih besar pada ukuran kepercayaan konsumen harian dan mingguan. Padahal sempat cenderung sedikit naik sejak pertengahan April, tetapi sekarang mungkin [kenaikan tingkat kepercayaan] mundur ke awal Juni," ujar kepala ekonom di lembaga Action Economics, Mike Englund.
***
Seperti diketahui, protes akibat kematian Floyd terjadi di lebih dari 100 kota di seluruh AS. Memang, sebagian besar pengunjuk rasa tidak melakukan kekerasan. Tapi, dalam banyak kasus ada insiden perusakan properti dan penjarahan, serta serangan terhadap petugas polisi.
Sulit untuk memprediksi berapa banyak kerusakan harian yang dialami akibat kerusuhan sipil yang terjadi. Tetapi mengacu pada demonstrasi-demonstrasi lain sepanjang sejarah, maka jumlah kerugian diyakini signifikan dan jangka panjang.
William Collins dan Robert Margo, ekonom yang mempelajari efek kerusuhan yang terjadi setelah pembunuhan Martin Luther King Jr. pada 1968, menemukan bahwa di daerah-daerah yang paling terkena dampak kehancuran, nilai properti tertekan dalam tahun-tahun segera setelah terjadinya kerusuhan dan tetap demikian setidaknya sampai era 1980-an.
“Mengukur dengan tepat dampak ekonomi dari gangguan sipil itu sulit karena data yang ada tidak sempurna. Namun kami menemukan perbedaan yang signifikan dalam tren nilai properti milik orang kulit hitam di kota-kota yang memiliki kerusuhan sedang atau parah dibandingkan dengan kota-kota dengan gangguan kecil,” tulis mereka.
Dalam penelitian lain yang mengamati perkembangan kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh gangguan sipil pada 1968, Marcus Casey dan Bradley Hardy juga menemukan dampak negatif jangka panjang, bahkan mungkin menjadi permanen.
Pertama, pada tahun-tahun setelah kerusuhan, di semua daerah yang terkena dampak, terutama yang sangat banyak penduduk Afro-Amerika, maka sebagaimana disebutkan dalam studi tersebut, penurunan pada sejumlah indikator kualitas hidup sangat besar. Kedua, lingkungan yang terkena dampak kerusuhan dalam sampel mereka tetap di antara yang paling menderita secara ekonomi.
Flora Libra Yanti