Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang Pemilu mencatatkan adanya kemungkinan perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Hal ini disampaikan Koordinator Nasional Seknas Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, perubahan sistem ini layak untuk ditelaah karena berpotensi memunculkan kembali perdebatan klasik dari berbagai pihak parpol.
Seperti disampaikan Alwan, Jelas dalam Bab 2 dan Bab 3 Pasal 206 sampai 259 dalam RUU tersebut, bertuliskan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
"Kalau kita ikuti di RUU Pemilu 2019 kemarin, itu melahirkan Perdebatan dua kutub antara Partai besar yang pro dengan sistem tertutup, dan partai kecil yang pro dengan sistem terbuka," Kata Alwan dalam sebuah Diskusi Daring, Minggu (7/6).
Alwan memperdiksi, perdebatan atas perubahan tersebut juga akan memasuki perdebatan di ranah publik. Bahkan sejatinya, di Forum Kesekjenan Partai Politik, beberapa partai kecil sudah tegas menolak adanya klausul perubahan sistem terbuka menjadi tertutup.
"Seolah menegaskan perubahan sistem, di pasal 214 itu berbunyi, Nama bakal calon sebagaimana diatur dalam pasal 211 disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan oleh partai politik. Ini kemudian kan dipertegas lagi perubahannya," Jelas Alwan.
Dirinya berpandangan, dengan dilaksanakannya sistem proporsional tertutup pada pemilu, maka akan semakin mempertegas kuasa lebih parpol. Dan akhirnya, jika dilaksanakan sistem tertutup tersebut, kontestasi pemilihan sesungguhnya justru akan terjadi di Internal partai, bukan pada saat rakyat memilih.
"Bahwa dengan sistem proposional tertutup akan memberikan parpol kuasa penuh. Maka rakyat boleh saja memilih, tapi rakyat tidak bisa menentukan siapa pemenangnya. Pemenangnya ditentukan tergantung nomor urut. Sehingga, kontestasi sesungguhnya ada di internal partai, dalam merebut nomor urut. Ini pasal 214 ini mempertegas hal tersebut," pungkasnya.