Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., meminta agar pemerintah, DPR, dan KPU agar menunda seluruh tahapan Pilkada serentak 2020. Penundan ini konstitusional.
Fahri, Sabtu (6/6), meminta agar seluruh tahapan Pilkada serentak 2020 ini tidak dilaksanakan pada 9 Desember mendatang, ?mengingat masih terjadi pandemi coronavirus disease 2019 (Covid)-19.
Menurutnya, pemerintah bisa menunda pelaksanaan Pildaka serentak 2020 meskipun sudah diterbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Penundaan kembali pesta demokrasi di daerah itu konstitusional.
"Pilkada serentak 9 Desember 2020 itu ditunda dan dapat dibenarkan secara kontitusi, sesuai prinsip hak asasi manusia sepanjang berkaitan dengan hak atas kesehatan.
Menurutnya, ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. Pasal 25 menyatakan, setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan.
"Pengaturan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga secara konstitusional prinsip kesehatan adalah hak asasi warga negara atas kesehatan (Human Right to Health) yang dijamin secara tegas dalam konstitusi," ujarnya.
Menurutnya, segala kebijakan negara dalam situasi apapun penyelenggara negara mutlak memedomani sebagai instrumen fundamental yang tidak dapat direduksi atas alasan dan keadaan apapun juga.
Menurut Fahri Bachmid, tidak tepat dan kondusif jika gelaran pesta demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pendemi Covid-19. Ia mengusulkan, Pilkada serentak 2020 sebaiknya dilakanakan pada 2021 mendatang.
Lebih jauh Fahri Bahmid, menjelaskan, ?bahwa berdasarkan perspektif hukum sesui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi undang-undang, dalam penormaan itu ada 2 keadaan hukum yang diatur sedemikian rupa dalam Perppu tersebut sesuai ketentuan Pasal 201A.
Dalam rumusannya, pada Pasal 201 ayat (6) disebutkan pemungutan suara serentak ditunda kerena terjadinya bencana nonalam. Sementara rumusan norma Pasal 120 Ayat (1) menjelaskan pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada Desember 2020.
Namun, kata Fahri, ada ketentuan selanjutnya yang merupakan “ekseption” adalah “dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak dapat dilaksanakan dan pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.
"Secara yuridis, ini merupakan sarana hukum yang telah didesain sebagai politik hukum didalam Perppu untuk mengatasi serta mengantisipasi jika keadaan Pendemi ini tidak berahir," ujarnya dalam keterangan pers.
Secara objektif, sampai dengan saat ini Kurva Penularan Covid-19 belum terlalu signifikan untuk dapat dibilang aman untuk suatu tata kehidupan sosial kemasyarakatan yang sehat dan kondusif, sebagai alasan untuk pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini.
Jika Pilkada 9 Desember tetap dipaksakan, menurut Fahri, akan ada potensi risiko cukup tinggi. Keputusan politik tentang Pilkada 9 Desember 2020 ini terlalu berani dan riskan untuk tetap melaksanakan Pilkada 2020, “decision -making”.
"Tidak dapat kami memahami rasio legisnya dari produk tripartie yang dikeluarkan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu tersebut," ujarnya.
Sebab, kata dia, secara sekilas kelihatannya konstruksi kesepakatan yang diambil salah satu pijakannya adalah karena penjelasan yang disampaikan oleh KPU RI terkait langkah-langkah kebijakan dan situasi pengendalian yang disampaikan oleh Pemerintah, termasuk saran, usulan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui surat Ketua Gugus Tugas No. B-196/KAGUGAS/PD.01.02/05/2020 bertanggal 27 Mei 2020.
"Idelanya keputusan itu harus dibangun berdasarkan hasil kajian yang yang cermat, hati-hati, dan komprehensif serta memiliki basis analisis keilmuan scientific yang memadai," katanya.
Pembahasan juga harus melibatkan berbagai pakar dan ahli virologi yang dapat memastikan tingkat risiko penularan serta persebaran Covid-19 sampai dengan bulan Desember 2020, secara mitigatif sehingga sampai pada kesimpulan ini.
"Jangan sampai Negara dianggap melakukan 'By Omission' atau pembiaran. Dan jika itu yang terjadi maka secara hukum sebagai konsekuensi dari sebuah negara demokrasi konstitusional, sangat potensial berbagai keteledoran itu akan digugat ke pengadilan melalui sarana hukum yang tersedia atas produk kebijakan yang dinilai abai terhadap aspek kesehatan masyarakat, ini jangan sampai terjadi," ujarnya
Menurut Fahri Bachmid, tidak boleh ada korban nyawa manusia yang sia-sia karena terkena virus Covid-19 terkait pemungutan suara serentak itu. Ini menjadi penting dan esensial agar masyarakat dapat memahami hakikat dari keputusan yang sangat penting dan strategis itu yang telah diambil Pemerintah, DPR, dan KPU.
Menurutnya, jangan sampai kesepakatan serta keputusan politik yang diambil mengabaikan spirit konstitusi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara, sebagaimana terdapat didalam dokumen prembule/pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sebagai “staatsfundamental norm”.
Staatsfundamental norm tersebut mengatakan bahwa "...kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum ...."
Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dan politik perjanjian luhur berdirinya sebuah bangsa dan NKRI sebagai Organisasi Kekuasaan. Dengan demikian, negara mempunyai tanggung jawab konstitusional secara absolut untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Gambaran meta-norma pada preambule di atas sejalan dengan doktrin Cicero, filsuf kebangsaan Italia yang telah diterima secara universal bahwa "keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara “Salus populi suprema lex esto”.
"Pada prinsipnya, spirit konstitusional itulah yang harus menjadi 'guidance' dalam merumuskan kebijakan negara sampai pada level yang sektoral sifatnya, termasuk kebijakan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan eksplanasinya," ujar dia.
Menurut Fahri, jika Pilkada ditunda sampai dengan tahun 2021, maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelengaraan Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu.
Sebab, kata dia, hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU RI No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota menjadi undang-undang, khususnya ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan (11).
Pasal 201 Ayat (10) dan (11) telah mengatur dengan cukup baik, yang rumusannya mengatur: "Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Kemudian, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota, diangkat penjabat bupati atau wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Artinya, UU telah menyediakan pranata penyelesaiannya jika keadaan habis masa jabatan kepala daerah, dan tidak akan pernah ada kekosongan kekuasaan didaerah," ujarnya.
Fahri menyampaikan, presiden sebagai Kepala Negara telah diberikan atribusi kekuasaan oleh hukum untuk menyelesaikan permasalahan dan urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan Pasal 7 ayat (2).
Pasal 7 Ayat (2), menjelaskan bahwa presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pelaksanaan pemerintahan pusat dan daerah.
"Dengan demikian, maka pelaksanaan Pilkada tahun 2020 di musim pendemi saat ini menjadi tidak urgent dan penting, baiknya konsentrasikan seluruh sumber daya nasional yang ada saat ini untuk menyelesaikan Covid-19 beserta seluruh dampak bawaan lainnya.
"Pilkada merupakan agenda sekunder yang tidak wajib serta tidak strategis untuk saat ini. Jadi, baiknya negara mengambil kebijakan untuk segala agenda dan tahapan Pilkada 2020 di-"suspend" sampai tahun 2021.
Sebelumnya, Pilkada serentak diputuskan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Ini merupakan keputusan bersama antara Komisi II DPR dan pemerintah. Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Rabu (27/5/2020).