Yogyakarta, Gatra.com - Sejumlah pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal di Daerah Istimewa Yogyakarta disimpulkan negatif Covid-19 meski tanpa mengikuti aturan. Pelacakan tak agresif virus Corona pada korban berpotensi membuat pengambilan kebijakan penanganan Covid-19 meleset.
Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi meminta izin untuk jeda wawancara kepada tim kolaborasi jurnalis yang menemuinya di Ruang Sadewa, kompleks Balai Kota Yogyakarta, Kamis (28/5). Bersama timnya, Heroe pindah ke ruang lain usai menyebut bahwa jumlah PDP yang kemudian meninggal di Kota Yogyakarta masih delapan orang.
Padahal, publikasi di laman dan media sosial resmi Pemerintah Kota Yogyakarta, kematian PDP mencapai 26 orang. Setelah pamit sekitar 10 menit ia kembali ke kursinya dan membenarkan kematian 26 PDP ini.
“Kematian ada yang terkonfirmasi karena Covid-19, ada yang belum. Tidak semua kena swab. Waktu masuk (rumah sakit) dan meninggalnya tak begitu lama karena ia lanjut usia atau punya penyakit penyerta,” ujar Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Yogyakarta ini.
Sementara itu, PDP meninggal menurut Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan angka 21 kasus. Hingga 31 Mei, DIY mencatatkan kematian 20 PDP yang menanti hasil tes, delapan pasien positif, dan 65 PDP yang dinyatakan negatif Covid-19.
Adanya data yang tak selaras antara Pemkot Yogyakarta dan Pemda DIY menyangkut PDP yang berpulang saat mereka belum atau tengah menjalani proses tes untuk mengonfirmasi mereka positif atau negatif terjangkit Covid-19. Tes tersebut melalui pengambilan sampel spesimen melalui swab atau usapan di saluran napas untuk dites melalui metode polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium.
Seperti disampaikan Heroe, sejumlah PDP meninggal saat belum dipastikan statusnya terkait Covid-19 karena hasil tes belum diketahui. Namun, Heroe tak menyangka data timnya dan publikasi Pemda DIY berbeda. “Saya minta angkanya jelas sehingga tidak membingungkan. Kalau (pendataan) PDP meninggal itu beda, saya juga baru tahu,” katanya.
Setelah hasil tes keluar dan dipastikan positif atau negatif Covid-19, mengacu pendataan Pemda DIY, PDP itu hilang dari kategori PDP meninggal. PDP itu dimasukkan ke kategori pasien positif atau negatif Covid-19 yang meninggal.
Kondisi itu seperti dialami kematian pasien positif Covid-19 kedelapan di DIY. Pasien ini meninggal 11 Mei berstatus PDP dalam proses tes dan hasil bahwa ia positif Covid-19 keluar 16 Mei. Sebelumnya, tujuh kematian pasien positif di DIY ajeg sejak 17 April. Data terbaru hingga Kamis (4/6), kematian pasien positif 8 orang dari 237 kasus, sedangkan wafatnya PDP dalam tes 19 orang dan negatif Covid-19 mencapai 68 orang.
Pedoman pencegahan Covid-19 terbaru Kementerian Kesehatan menyebut pasien harus dites hasil swabnya minimal dua kali. Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, Yogyakarta, Irene, menegaskan penerapan aturan itu di laboratorium balai tersebut--salah satu lab pemeriksa sampel pasien Covid-19 di DIY.
Jika hasil tes swab pertama menunjukkan positif, PDP itu positif Covid-19. Namun jika tes swab pertama negatif, sampel kedua harus diperiksa. “Satu kali tes dia negatif tak bisa dinyatakan dia negatif Covid-19. Harus dites lagi. Dua kali negatif baru dia (dinyatakan) negatif Covid-19,” ujar dia.
Banu Hermawan, Kepala Bagian Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito, rumah sakit dengan lab pemeriksa sampel Covid-19, berkata senada. “Prosesnya dua kali swab baru disimpulkan. Kalau terakhir dia diswab negatif, ya kami katakan negatif swab,” tuturnya.
Masalahnya, tak semua PDP meninggal menjalani prosedur tes sesuai aturan itu. Sebagian PDP meninggal hanya dites usap sekali atau bahkan tanpa tes sama sekali. Jumlah tes tersebut ke pasien juga tak diinformasikan ke publik. Dengan kondisi itu, PDP yang wafat tersebut disimpulkan negatif Covid-19.
**
Tim kolaborasi telah menghimpun dan mencocokkan data sekitar 1.240 PDP dari sejumlah lab di DIY dengan data Pemda DIY. Data tersebut berada di rentang waktu 15 Maret -15 Mei atau sepanjang dua bulan sejak kasus positif Covid-19 pertama di DIY diumumkan, 15 Maret 2020.
Hasilnya, 12 PDP meninggal tanpa atau cuma sekali dites swab. Rinciannya, 5 orang tak dites dan 7 orang dites sekali. Terdiri atas 4 perempuan dan 8 laki-laki, usia mereka berkisar 34 hingga 82 tahun. Dua belas orang ini 3 warga Kota Yogyakarta, 2 orang dari Kabupaten Bantul, dan 7 warga Kabupaten Sleman.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Yudiria Amelia, mengonfirmasi tiga PDP di data tersebut belum diswab. “Dari rumah sakit dapat info PDP ini meninggal belum diswab. Terus disimpulkan negatif itu. Itu dari Pemda (DIY),” ujar Amelia saat mendampingi Heroe.
Ia menjelaskan, baru satu dari tiga warga itu telah dilacak kontaknya. Dua warga lain tak dilacak karena tak tinggal di Kota Yogyakarta. “Tracing kami masih fokus ke yang konfirm positif Covid-19,” katanya.
Menurut dia, Pemerintah Kota Yogyakarta mempertahankan data sesuai kondisi, termasuk PDP meninggal yang belum tegak diagnosis Covid-19-nya karena belum atau dites sekali. Langkah ini diduga membuat data PDP meninggal Pemkot Yogyakarta sempat lebih banyak daripada Pemda DIY.
Namun ia mengakui Pemkot kerap berbeda pendapat dengan Pemda DIY soal pendataan, termasuk tak tersedianya kategori khusus untuk PDP meninggal yang belum diperiksa sesuai ketentuan.
“Karena tidak ada kolomnya. Sudah dikategorikan seperti itu dari Dinkes DIY. Jadi nanti paling kami tambahi (info belum atau sekali tes swab). Kalau dihilangkan (dari data PDP), malah kacau,” ujar Amelia.
Juru bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Bantul Sri Wahyu Joko Santosa tak menampik dua warga Bantul temuan tim kolaborasi tak dites diwab dan sekali saja dites tersebut untuk lantas ditetapkan negatif Covid-19
Ia menjelaskan, ada 20 PDP meninggal dinyatakan negatif Covid-19 hingga Kamis (28/5). Dari jumlah itu, ia mengakui kebanyakan menjalani tes swab cuma sekali. “Penegakan diagnosis seharusnya dua kali swab tapi untuk kasus kematian lihat juga penyakit penyerta,” ujar Oki, sapaan Joko.
Dia berkata, penentuan PDP meninggal negatif Covid-19 meski tanpa atau cuma sekali tes swab tetap mempertimbangkan kondisi klinis oleh pihak rumah sakit. “Tak ada di pedoman yang meninggal harus dua kali swab. Kalau sekali swab negatif, diagnosis penunjang seperti apa dan arahnya dokter mau ke mana,” kata Oki.
Menurut Oki, keharusan dua kali swab untuk PDP yang memiliki riwayat perjalanan dari zona merah atau kontak dengan pasien positif Covid-19. Para PDP di Bantul yang meninggal itu, kata dia, tak punya riwayat kontak dan perjalanan tersebut.
“Tidak bisa saklek (kaku) kalau kata orang Jawa. Kami harus mengikuti pihak RS yang merawat. Pemkab hanya memvalidasi hasil lab lewat penyelidikan epidemiologi,” ujarnya.
Berbeda dengan Bantul, Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo menyatakan bahwa status positif atau negatif Covid-19 seorang PDP tak bisa tegak tanpa dua kali tes swab. Dari temuan, tujuh warga Sleman dinyatakan negatif kendati hasil usap spesimen belum atau sekali dites di lab.
“Tetap patokannya dua kali swab. Kami tidak katakan (PDP meninggal itu) negatif, tapi masih proses. Tidak dikatakan negatif karena baru satu kali swab,” ujar Joko.
Joko bahkan heran dan baru tahu bahwa data PDP asal Sleman dikategorikan negatif Covid-19 di laman publik Pemda DIY. “Kami harus berkoordinasi dengan teman-teman DIY. Intinya, kalau warga Sleman yang belum diswab atau swab satu kali itu bukan negatif,” tuturnya.
Menurut dia, penetapan status itu berpengaruh pada pelacakan penularan. Sebab penelusuran Covid-19 diutamakan untuk kasus konfirmasi positif dan selanjutnya untuk PDP. Joko mencontohkan seorang PDP meninggal, berinisial BS, belum sempat tes swab dan meninggal 31 Maret 2020. Kala itu, sampel harus dites di lab Kemenkes, Jakarta.
Pemkab Sleman tak menyatakan BS negatif, tapi laman Pemda DIY mencantumkannya di kolom negatif Covid-19. PDP yang dinyatakan negatif tak mendapat prioritas untuk dilacak. “Kalau PDP belum jelas, harus tetap di-tracing. Jadi keluarga BS kami tracing,” paparnya.
Toh, Joko mengaku tak tahu langkah Pemda DIY menyimpulkan para PDP wafat itu negatif Covid-19 tanpa atau sekali tes swab. “Kami tetap dua kali swab. Diagnosis klinis belum cukup. Kami akan sampaikan hal ini di rapat koordinasi,” tandasnya.
**
Merespons temuan ini, Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19 Berty Murtiningsih mengakui sejumlah PDP meninggal dinyatakan negatif Covid-19 meski belum dua kali tes usap. “Ada yang meninggal baru swab satu kali. Kalau itu hasilnya negatif, ya kita negatifkan. Enggak mungkin (dua kali), mosok harus digugah (dibangunkan),” ujar dia.
Menurut dia, penyimpulan negatif Covid-19 tersebut setelah melalui komunikasi dengan pihak rumah sakit. “Kami menulis di situ tak main-main dan harus konsultasi ke RS, apakah benar-benar bisa dinegatfikan atau ini didiamkan. Ini sebetulnya kesepakatan klinis dokter,” katanya.
Berty mengakui pedoman Kemenkes mengharuskan tes usap dua kali. Namun, kata dia, aturan itu selalu berganti dan tak merinci perlakukan saat pasien meninggal. “Itu pedoman gede, tidak mengatur ke klinis yang kecil-kecil,” kata dia.
Apalagi, menurut dia, tak ada kategori untuk menampung data PDP meninggal yang belum atau sekali swab. “Kami tak punya wadah, mau masuk di mana. Selain positif dan negatif, sebenarnya menurut rumah sakit ada probable--tidak bisa disimpulkan. Tapi kami tak bisa buat kriteria seperti itu, bagaimana menerangkannya ke masyarakat,” tuturnya.
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyayangkan PDP hanya sekali dites bahkan tak dites sampel swabnya. “Harus dites seagresif mungkin. Jangan sampai dia tidak jelas, “ ujar dia dalam wawancara via video telekonferensi dari Yogyakarta.
Ia sempat terkejut mengetahui timpangnya jumlah kematian pasien positif Covid-19, yakni 8 orang, dan kematian PDP yang belakangan dinyatakan negatif Covid-19, 65 orang. Artinya, kematian positif Covid-19 hanya 10 persen dari total kematian PDP yang telah tegak diagnosisnya.
“Ini kayak ada sesuatu. Saya enggak nyangka sebanyak ini. Unussual,” ujar doktor di bidang pengobatan molekuler dari University of Texas Health Science Center, AS, ini sambil garuk kepala, menepuk jidat, dan memicingkan mata.
Rusdan menjelaskan, virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, tergolong unik. Dalam jangka waktu tertentu, ia memperbanyak diri, berpindah, dan bersembunyi di organ tubuh secara spesifik sambil membajak mekanisme sel.
Virus itu bercokol di saluran napas atas hingga bawah, masuk paru-paru, bahkan dilaporkan ditemukan di tinja. “Virus ini susah diambil. Tak ada di darah. Harus dicari di lokasi dia ngumpet. Kalau turun ke (saluran napas) bawah, makin susah (ditemukan),” ujar Rusdan yang menjalani studi pasca-doktoral di Harvard Medical School, Amerika Serikat, ini.
Untuk itu, menurutnya, sampel spesimen tak cukup diswab sekali dan atau cuma diambil di saluran napas bagian atas. “Kalau hanya swab (saluran napas) atas, bisa jadi false negatif. Miss-nya 30 persen. Kalau (sampel di) paru, 100 persen. Apalagi setiap pasien unik. Virus ketemu sampai 3-5 kali swab,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kalau pasien diswab sekali, boleh jadi jumlah virus belum banyak atau telah berpindah. Akibatnya saat dites di lab, Covid-19 tak terdeteksi. “Ini pelajaran penting supaya lebih agresif menegakkan diagnosis,” katanya.
Di beberapa negara, pasien meninggal di masa pandemi bahkan harus menjalani biopsi paru, tes antibodi, hingga autopsi untuk menegakkan diagnosis Covid-19. “Secara budaya dan agama di Indonesia, autopsi belum diterima luas. Tapi kalau ada dugaan kuat dan demi kejelasan, autopsi perlu dipertimbangkan,” tuturnya.
Selain tes agresif, Rusdan juga mendorong audit dan integrasi lab. “Ini bukan untuk mencari kesalahan. Tapi kalau negatif terus, siapa tahu virusnya bermutasi dan tak terdeteksi. Kalau ada kesulitan regensi bisa dipinjami lab lain. Ini harus dilihat semua kemungkinan,” ujarnya.
Menurut dia, pemda semestinya memberi catatan untuk PDP meninggal tanpa dan sekali tes swab. Catatan itu berisi tindakan yang tak diambil, terutama tes swab. Sebab, semua data, termasuk penyimpulan negatif Covid-18 yang tak sesuai aturan, pasti punya konsekuensi, seperti untuk pelacakan penularan dan pengambilan keputusan.
“Kalau banyak (PDP) negatif, kondisi dianggap normal. Ternyata saat (protokol kesehatan) dibuka, kasus bisa langsung melonjak. Data ini untuk membuat kebijakan. Dampaknya bisa ke mana-mana. Kalau negatif palsu, bisa jadi klaster (penularan Covid-19) baru,” katanya.
Dengan penetapan 12 pasien negatif--dari total 65 kematian--tak sesuai ketentuan, virus Corona seakan hilang dari korban tanpa pemeriksaan agresif dan hanya berdasarkan ‘insting’ pihak yang berwenang. Pendataan tak akurat pun berpotensi melahirkan kebijakan keliru yang bisa memperparah pandemi.
“Keputusan mengatakan negatif tanpa swab itu sesuai insting otoritas. Mudah-mudahan mereka benar,” kata Rusdan, lirih.