Belu, Gatra.com - Selama masa pandemi Covid-19 terdata 696 kehamilan muda di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka tersebar di 12 Kecamatan dan merupakan kehamilan pertama.
“Jadi selama masa pandemi Covid-19, yakni antara Maret hingga April 2020 ada 696 kehamilan muda dari 23.649 pasangan usia subur (PUS). Yang dimaksud dengan kehamilan muda ini adalah kehamilan pertama,” kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Belu, Egi Nurak, Kamis (4/6).
Sesuai data yang ada, kehamilan muda tertinggi terdapat di Kecamatan Atambua Barat sebanyak 115. Rinciannya, Maret terdapat 72 dan April 2020 terdata 69 orang.
“Jadi untuk Kabupaten Belu, Kecamatan Atambua Barat memiliki kehamilan muda tertinggi. Ini baru data bulan Maret dan April. Bulan Mei 2020 ini sementara diinput para koordinator PLKB di tingkat Kecamatan,” jelas Egi Nurak.
Lebih lanjut, Egi Nurak mengemukakan di tengah wabah Covid-19 ini pemerintah menganjurkan kepada pasangan usia subur (PUS) untuk menunda kehamilan. Pemerintah tidak melarang untuk menikah tetapi dengan catatan kehamilan ditunda dulu.
“Di masa pandemi Covid-19 ini, petugas kami terus melakukan edukasi kepada pasangan usia subur untuk menunda kehamilan. Mereka sudah disarankan menggunakan alat kontrasepsi seperti mengkonsumsi pil KB, menggunakan kondom dan melalui suntik. Ketiga hal ini sangat efektif untuk menunda kehamilan,” kata Egi Nurak.
Alasan menunda kehamilan di masa panedemi Covid-19 ini karena berbagai alasan, di antaranya gejala umum kehamilan adalah mual, pusing dan muntah.
“Ketika mengalami gejala demikian, seorang ibu hamil akan mengalami kelelahan, badan lemah dan daya tahan tubuh menurun. Kondisi demikian sangat rentan munculnya berbagai penyakit termasuk Covid-19,” ujar Egi Nurak.
Selain itu, selama masa pandemi Covid-19, akses pelayanan ibu hamil terbatas. Berbeda dengan sebelum pandemi di mana pelayanan dapat dilakukan di Posyandu dan desa yang dekat dengan rumah ibu hamil.
“Namun saat pandemi Covid -19, pelayanan ibu hamil hanya dibuka di Puskesmas. Hal ini tentu menjadi kendala baru karena faktor jarak dan membutuhkan biaya transportasi. Sementara kebanyakan ibu hamil tersebut tidak memiliki kendraan sendiri,” kata Egi Nurak.
Selain itu, ibu hamil yang melakukan kontrol otomatis menggunakan masker, sarung tangan, dan pakaian ibu hamil. Ini juga membutuhkan biaya lagi untuk membeli APD tersebut dan harus membelinya di pusat perbelanjaan seperti toko, super market dan lainnya.
"Ini termasuk kendala. Karena saat membeli, ibu hamil berinteraksi dengan banyak orang dan akan bertentangan standar kesehatan Covid-19 karena satu dari sekian protokol kesehatan Covid-19 adalah jaga jarak,” kata Egi Nurak.