Jakarta, Gatra.com - Presiden Jokowi telah meneken PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam peraturan tersebut, seluruh pekerja akan diwajibkan mengikuti program Tapera.
Skema Tapera akan mengambil iuran dari pekerja dan pemberi kerja. Pemberi kerja menanggung 0,5% sementara pekerja 2,5% dari total gaji pegawai. Iuran tersebut maksimal dibayar tanggal 10 setiap bulannya. Peserta BP Tapera direncanakan yakni CPNS, aparatur sipil negara (ASN), prajurit TNI/Polri, pekerja BUMN dan BUMD serta perusahaan swasta.
Pemberlakuan PP Tapera juga mendapatkan penolakan dari kalangan pengusaha. Tapera dinilai akan menambah beban perusahaan karena bukan cuma pekerja yang akan menanggung iuran kepesertaan, tapi juga pengusaha.
Pemerintah berdalih program Tapera dengan asas gotong royongnya akan berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Pemerintah juga memiliki misi untuk membangun rumah layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pengamat properti, Ali Tranghanda mengatakan program Tapera masih memiliki beberapa sisi lemah dalam hal undang-undang. Selain itu pemerintah, terang Ali, belum mendengarkan kritik atau masukan dari banyak pihak terkait pembentukan Tapera. “Adanya program baru ini dikhawatirkan akan menjadi beban baru setelah banyaknya lembaga pembiayaan perumahan lainnya,” ujar Ali dalam keterangannya kepada Gatra.com, Kamis (4/6).
CEO Indonesia Property Watch itu menyebutkan keberadaan Tapera berpotensi menambah beban pengusaha setelah banyaknya iuran yang dikenakan seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya. “Meskipun aturan iuran 2,5% untuk pekerja, dan 0,5% untuk pengusaha, namun pada kenyataannya banyak juga pekerja yang menolak sehingga beban keseluruhan menjadi beban pengusaha,” katanya.
Dari sisi kelembagaan, menurut Ali, seharusnya pemerintah bisa menggunakan lembaga yang sudah ada dengan sistem satu iuran untuk dialokasikan sebagai iuran kesehatan, pendidikan, pensiun, dan perumahan. Sehingga pengusaha menurutnya tidak dibebani oleh beberapa iuran berbeda begitu juga dalam hal administrasinya.
“Tapera seharusnya lebih sebagai nirlaba dan tidak diperlukan manager investasi dalam pengelolaan dananya. Biaya yang dikeluarkan untuk manager investasi, biaya karyawan, biaya operasional dan lain-lain membuat beban biaya tinggi, yang akan membebani pemerintah atau nantinya lebih berorientasi komersial,” ujar Ali.
Penunjukan manager investasi sebagai pengelola dana Tapera, menurut Ali, juga mempunyai risiko kerugian. Bila hasil kelola merugi maka berdasarkan UU Pasar Modal, manager investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi. Hal itu menurutnya ironis karena dana Tapera merupakan pertanggungjawaban terhadap uang rakyat. Menurut Ali, dana Tapera tersebut rawan diselewengkan karena alokasi dana yang terkumpul dapat mencapai Rp50 triliun setahun.
“Dana ini dengan kelolaan manager investasi dapat bertendensi ke arah komersial dengan bancakan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, Indonesia Property Watch (IPW) meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan. Sekaligus warning kepada BP Tapera untuk dapat memberikan pelaksanaan dan pengelolaan dana yang jujur dan transparan,” katanya.