Pemuda berkulit coklat dengan topi pet putih itu namanya Rainey Arthur Backues. Usianya sekitar 21 tahun. Sosoknya menjadi viral setelah foto- fotonya terpampang di koran (e-paper) The Philadelphia Enquirer. Di situ, Rainey sedang beraksi : tangan kanannya siap mengayunkan sebuah boks (mungkin dari karton) ke dinding sebuah bangunan. Adegan lainnya, ia memamerkan sepatu jarahan.
Foto-foto itu menggambarkan aksi Rainey di tengah riuhnya demo (Sabtu, 30 Mei lalu) yang berujung rusuh. Temanya demonya ialah protes atas kematian George Floyd, warga kulit hitam yang meregang nyawa akibat aksi brutal polisi Menneapolis, sepekan sebelumnya. Rainey turut hanyut dalam situasi emosional dalam demo yang diwarnai bakar-bakar dan penjarahan toko itu.
Yang heboh bukan hanya medsos di Philadelphia. Sebagian masyarakat Indonesia pun ikut memberi perhatian, meski sepintas, akan aksi Rainey itu. Pasalnya, di lengannya terlihat ada sebuah tato yang menggambarkan kepulauan Indonesia. Siapa Rainey?
Tak perlu waktu lama bagi Rainey menyatakan penyesalannya. Beberapaa jam setelah foto-fotonya terpampang, melalui akun pribadinya, ia menyatakan penyesalannya. Ia mengakui telah melakukan perbuatan tak terpuji. Ia menyampaikan permohonaan maaf atas tindakannya yang beterlaluan itu. Ucapan maafnya juga dialamatkan kepada masyarakat Indonesia di Philadelphia.
Rainey mengatakan tak ikut menjarah. Ia hanya memungut sebuah sepatu (bukan sepasang) yang terserak di jalanan, menempelkannya di pipi dan ia pun bermaksud selfie untuk memarwai laman instagramnya. ‘’Saya warga AS yang kebetulan lahir di Jawa,’’ tulisnya, memberi konteks mengenai permintaan maafnya kepada komunitas Indonesia di Philadelphia itu.
Keluarga Mang Jaja
Rainey memang kelahiran Jawa, tepatnya sekitar Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia diadopsi resmi ketika masih bayi, oleh Lindy dan Donna Backues. Ketika itu, Lindy aktif sebagai pendeta, yang sekaligus penggiat pemberdayaan UMKM. Selama sekitar 17 tahun (sejak 1990-2007), pasangan ini hidup di daerah Tasikmalaya dan Bandung. Menjelang kembali ke Amerika, pasangan ini sempat membantu program restorasi di Aceh pasca gempa akhir 2004.
Lindy maupun Donna pandai membaur. Mereka mahir berbahasa Indonesia dan Sunda. Begitu dekat warga sekitar ke Lindy, sehingga pria yang kini berusia 60-an tahun itu mendapat julukan Mang Jaja. Tak hanya bergaul di komunitas Kristiani, Lindy juga membangun hubungan erat dengan komunitas muslim setempat.
Pasangan Lindy dan Donna itu tak mempunyai momongan. Mereka kemudian mengadopsi dua anak sejak bayi. Yang sulung Aubrey Backues, gadis berkulit putih mata biru dari Amerika. Adiknya, Rainey Backues yang diadopsi di Tasikmalaya. Di tengah keluarganya, Rainey punya nama kesayangan Dika. ‘’Keduanya anak-anak yang manis,’’ kata Dr. Ahmad Munjid, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, sahabat keluarga Backues.
Dr. Munjid berkenalan dengan keluarga Backues sewaktu ia menjalani studi S2 dan S3nya di Temple University, Philadelphia. Mereka bertemu dalam acara gathering masyarakat Indonesia . Lindy dan Donna Backues rajin hadir. ‘’Keluarga Backues itu luar biasa,’’ Munjid memuji. Mereka ramah, hangat, rendah hati, suka berbagi, dan menghargai orang lain dengan segala perbedaannya.
Pasangan ini selalu bersemangat dalam urusan pemberdayaan masyarakat. Di Tasik, Donna membantu warga mengembangkan motif-motif bordir di kalangan pengrajin. Lindy membantu teknik manajemen usaha kecil, termasuk dalam menyusun rencana pemasaran dan cashflownya.
Munjid berteman dekat dengan keluarga ini. Di Temple University Munjit sedang mempelajari budaya hubungan antar-keyakinan (interfaith), dan Lindy Backues telah meraih dua gelar PhD : bidang teologi dan ekonomi pembangunan. ‘’Jadi nyambung,’’ tutur Munjit. Keduanya sering mendiskusikan isu-isu interfaith.
Di Philadelphia Dr. Lindy Backues ini bekerja sebagai Lektor Kepala di Estern University. Ia mengajar beberapa mata kuliah, dan yang menjadi andalannya adalah mata ajaran tentang hubungan antara keyakinan teologis dan praktek ekonomi (bisnis) di negara berkembang. Lindy alias Mang Jaja meraih dua gelar doktornya itu di University of Leed di Inggris. Isterinya Dona punya gelar Master of Arts dan ia seorang pelukis. Beberapa lukisannya bertema batik Sunda.
Selama di Philadelphia, Munjitd sering bertemu dengan Mang Jaja, dan karenanya ia mengenal kedua anaknya : Aubrey dan Dika. Munjid melukiskan, kedua anak itu tumbuh secara terbalik. Aubrey mirip gadis Sunda yang santun, tidak banyak omong, serba tertata, menghormat pada orang yang lebih tua. Sebaliknya, Dika yang berdarah Sunda itu adatnya malahan sangat Amerika: berani ngomong, egaliter dan spontan. Aubrey sempat beradaptasi dengan kultur Sunda, sedangkan Dika diboyong ke Amerika sewaktu masih bocah.
Keduanya, menurut Munjid, tumbuh menjadi pribadi yang sehat, berperilaku tertib,pintar, jujur, dan bertanggung jawab. Dika bermasalah? ‘’Tidak,’’ kata Munjid. Tumbuh di tengah keluarga terdidik, dan pendeta pula, kedua anak tersebut terbiasa dengan nilai keadaban dan etika. Meski Munjid kembali ke Jogja 2014, setelah meraih PhD-nya, hubungan baik dengan keluarga Backues terus berlanjut.
Setamat SMA, Dika masuk College, mengambil bidang seni. Sebentar lagi, lulus dan mungkin berlanjut ke universitas. Bahkan, Lindy sempat mengontak Munjid bahwa Rainey (Dika) berniat menjalani kuliah magang dalam program pertukaran mahasiswa di Jogja, barang satu semester atau setahun. Namun, rencana itu tertunda, antara lain akibat ledakan Covid-19.
Selain mengajar, Lindy Backues juga terus memberikan pelayanan sebagai pendeta. Ia memimpin sebuah gereja. ‘’Kami pernah shalat taraweh di gereja Mang Jaja,’’ kata Munjid, yang sering diminta menjadi imam shalat dalam acara keagamaan masyarakat Indonesia di Philadelphia. Tapi, kerepotan mencari tempat sholat taraweh itu teratasi setelah komunitas ini memiliki sebuah masjid, meski pun terselip dalam bangunan apartemen.
Keluarga Backues tidak mengambil jarak dengan pihak yang berbeda iman. Mereka sering hadir dalam acara peringatan hari besar Islam oleh warga muslim Indonesia di Philadelphia. Bisa halah bil-halal usai shalat Idul Fitri atau Maulid Nabi. ‘’Kalau lupa nggak diundang beliau protes. Mengapa saya tidak dikasih tahu,’’ ujar Munjid menirukan protes Mang Jaja.
Meminta Maaf
Bagi Munjid, keterlibatan Dika alias Rainey dalam aksi demo di Philadelphia itu bukan hal yang terlalu luar biasa. Dosen UGM itu yakin betul, Dika bukan tipe anak perusuh. Ia tumbuh dalam semaian nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kasih sayang antar sesamanya, sekaligus sikap kritis. Namun, dalam keseharian, ia melihat sentimen rasisme masih hidup di Amerika dengan segala manifestasinya. Boleh jadi, sebagai anak muda yang lahir dengan kulit berwarna, Dika ikut merasakannya.
Maka, yang terjadi adalah, saat ia bersepeda ke pusat kota dengan niat membuat foto-foto selfie dan video untuk akun sosmednya, dalam bahasa Ahmad Munjid, ia “kesetrum” psikologi massa. Ia hanyut dalam emosi massa dan ikut-ikutan melakukan aksi yang bertendensi merusak. Aksinya terekam lensa wartawan, lalu menyebar dan viral.
Ia pun buru-buru meminta maaf, seraya mengakui perbuatannya, secara proporsional. Ikut merusak iya, tapi tidak menjarah. Ia pun menyatakan penyesalannya dan siap bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya di tengah bara api kemarahan pada demo antirasisme di Philadelphia itu.
Putut Trihusodo
Wartawan Senior