Home Internasional Luka Terbuka Menyulut Amerika

Luka Terbuka Menyulut Amerika

Kematian pria kulit hitam, George Floyd, yang disebabkan oleh polisi kulit putih, Derek Chauvin, memicu demonstrasi di seluruh Amerika Serikat. Presiden Trump sempat diamankan di bungker khusus. Protes menyebar ke seluruh dunia.


Matahari terbenam di penghujung Mei, menjadi awal mula pemberlakuan jam malam di 40 kota di Amerika Serikat. Atlanta, Chicago, serta tentu saja kota terdampak paling parah, yakni Los Angeles, menetapkan aturan jam malam bervariasi dari pukul 20.00 hingga 06.00 keesokan harinya, sejak Sabtu, 30 Mei lalu. 

Tentara dan polisi bersiaga dan siap menindak warga yang ditemukan berkeliaran di jam-jam tersebut. Negara Bagian California, juga Arizona, Texas, dan Virginia, malah menetapkan status darurat hingga waktu yang belum ditentukan.

Tentara cadangan AS, Garda Nasional (National Guard) juga diturunkan. Mengutip CNN, ada 5.000 pasukan diaktifkan di 15 negara bagian, termasuk Ibu Kota Washington, D.C., sedangkan 2.000 personel lainnya bersiaga.

Sehari sebelumnya, pada Jumat malam, Presiden Donald Trump dibawa ke tempat aman, di sebuah bungker yang tak disebutkan lokasinya, dilansir The Guardian. Bungker tersebut dikabarkan merupakan tempat berlindung presiden ketika serangan 11 September 2001 terjadi.

Tindakan pengamanan ini menyusul situasi di luar Gedung Putih yang sempat memanas. Terlihat api membara, sisa-sisa aksi demonstrasi atas kematian George Floyd dan menuntut persamaan hak atas warga kulit hitam.

Jumat siang itu Trump menjadi bulan-bulanan warganet (netizen) dan sejumlah pesohor. Dua kicauannya di Twitter menuai kontroversi. Salah satunya malah disertai peringatan oleh pihak Twitter, "Tweet ini melanggar aturan Twitter tentang menganggungkan kekerasan. Namun, Twitter mempertimbangkan soal ketertarikan publik sehingga tweet ini tetap bisa diakses."

"Para PREMAN ini tidak menghormati kematian George Floyd, dan saya tak akan membiarkan itu terjadi. Saya baru saja bicara dengan Gubernur Tim Walz dan mengatakan kepadanya bahwa militer tetap ada untuk membantu. Jika ada kesulitan dan kita berasumsi kita bisa mengontrolnya, tetapi ketika penjarahan mulai, penembakan mulai pula," tulis Trump.

Penggunaan kata "preman" (yang ditulis dalam huruf kapital) dan "penjarahan" membuat geram banyak pihak. Artinya, Trump menilai para demonstran serta pejuang tagar #BlackLivesMatter adalah preman. 

Adapun kata "penjarah" bisa saja malah mengacu pada sosok Floyd sendiri, demikian tulis New York Times. Trump juga menyebut para demonstran sebagai "kiriminal kiri-radikal".

"Setelah mengobarkan api soal supremasi kulit putih dan rasisme selama masa jabatan kepresidenan, Anda sekarang punya nyali untuk berpura-pura memiliki rasa moral yang tinggi [tepat] sebelum [menyampaikan] ancaman kekerasan?" kicau musisi Taylor Swift selang beberapa jam kemudian.

"Kami tak akan memilih Anda pada November," tulis Swift tegas kepada @realdonaldtrump. Belakangan, Niall Horan dan Billie Eilish juga terang-terangan mengecam Trump atas pernyataannya itu.

Trump disebut telah berbicara dengan keluarga Floyd. Namun, saudara laki-laki korban, Philonise Floyd, mengatakan bahwa pertemuan itu sangat singkat. "Dia bahkan tak memberiku kesempatan untuk berbicara," ujarnya menjabarkan pertemuan dengan Trump.

***

Senin, 25 Mei lalu, menjadi satu bukti bahwa rasisme masih melekat kuat di Amerika Serikat. Pada sekitar pukul 20.00, seorang pria kulit hitam, George Floyd (46 tahun) berniat berbelanja di sebuah toko bahan makanan di kota tempat tinggalnya, Minneapolis.

Minneapolis adalah kota terbesar di negara bagian Minnesota (MN), dan kota terbesar ke-47 di AS. Wali Kota Minneapolis merupakan politisi Partai Demokrat. Demikian pula gubernur dan jaksa MN berasal dari Demokrat. Sudah jadi pengetahuan umum, sistem dua partai di AS memang memiliki kebijakan sangat berbeda dalam menghadapi kulit hitam. 

Partai Republik, yang mendukung Trump, diisi kelompok kulit putih dan konservatif. Ruang untuk memperjuangkan hak kulit hitam lebih memungkinkan terjadi di Partai Demokrat, meski Kepala Kepolisian Minneapolis adalah seorang kulit hitam.

Namun, itu semua tak serta-merta menghilangkan rasisme di akar rumput. Ketika Floyd mengulurkan uang lembaran US$20 (sekitar Rp291.600) kepada kasir toko, ia dituding memberikan uang palsu. Tak cukup sampai di situ, sang kasir malah memanggil polisi dan melaporkan Floyd. 

Tak butuh waktu lama, petugas Derek Chauvin, Tou Thao, J. Alexander Kueng, dan Thomas K. Lane pun tiba. Dalam pernyataan resmi, mereka mengatakan bahwa Floyd "menolak secara fisik" setelah diminta keluar dari kendaraannya. Namun sejumlah video pengawasan dari restoran di sekitar, menunjukkan bahwa Floyd sama sekali tak melakukan perlawanan. 

Chauvin menggunakan lututnya untuk menekan leher Floyd yang diborgol dan tertelungkup di aspal. Kejadian ini berlangsung selama 8 menit 46 detik. Setelah 2 menit 53 detik pertama, Floyd sudah terlihat lemas.

Adapun Kueng mendorong punggung Floyd, Lane menahan kakinya, dan Thao berjaga-jaga. Floyd sempat terdengar berbisik lirih, "Aku tak bisa bernapas". Ia juga merintih kesakitan dan menangis.

Kejadian ini direkam oleh warga yang sedang lalu-lalang dan segara viral di media sosial. Beberapa orang sempat meminta Chauvin untuk melepaskan lututnya, tetapi diabaikan oleh Chauvin. Saat Floyd tidak lagi bergerak, ia langsung dibawa ke Rumah Sakit Hennepin County Medical Center, lalu dinyatakan meninggal dunia. 

Belakangan, Chauvin dipecat dan didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga dan penyiksaan tingkat dua. Ketiga rekannya juga diberhentikan dari kepolisian.

Keesokan harinya, ribuan orang melakukan aksi demonstrasi secara damai di Minneapolis. Namun, aksi ini berujung ricuh yang mengakibatkan dua toko dibakar habis dan sejumlah toko lain dijarah serta dihancurkan. Demonstran diadang oleh polisi yang menyemprotkan gas air mata dan menembakkan peluru karet. 

Geram, para demonstran mengepung sebuah kantor polisi dan membakarnya. Untungnya, semua staf telah dievakuasi sebelum kebakaran. Lebih dari 500 tentara Garda Nasional dikirim untuk menetralkan kondisi.

***

Tak butuh waktu lama, aksi serupa segera meluas ke seluruh Amerika Serikat, bahkan ke banyak negara lain. Setidaknya lima area di Kota New York diramaikan oleh para demonstran yang berteriak, "Aku tak bisa bernapas", seperti dilaporkan Aljazeera

Demonstran di Kota Reno, Nevada, mendesak masuk ke kantor wali kota dan menyalakan api di dalam gedung tersebut. Di Kota Fargo, Dakota Utara, para polisi yang menembakkan gas air mata dibalas lemparan batu oleh demonstran. Markas polisi di Richmond, Virginia, juga menjadi sasaran amuk massa. 

Di Indianapolis, polisi menyelidiki "tembakan beruntun", termasuk yang mengakibatkan seorang petugas tewas. Di Philadelphia, setidaknya 13 petugas polisi terluka saat aksi damai berubah rusuh dan empat mobil polisi dibakar.

Para demonstran di Salt Lake City, mengabaikan jam malam dan terus melakukan aksi hingga larut. Akibatnya, enam orang ditahan dan seorang petugas polisi terluka akibat pukulan di kepala.

Senin, 1 Juni, aksi serupa meluas ke seluruh dunia. Di London, ribuan orang turun ke jalan dalam aksi damai "Black Lives Matter". Namun aksi ini juga berujung ribut, di mana para demonstran menuding polisi melakukan aksi provokasi. Sejumlah orang terlihat ditahan dan dibawa pergi dengan mobil polisi.

Terjadi pula aksi serupa di Sidney, Wellington (Selandia Baru), Paris, Toronto, Vancouver (Kanada), Havana (Kuba), juga Cape Town (Afrika Selatan). Tampak para seniman menggambar mural sebagai bentuk dukungan mereka di Berlin hingga Suriah.

Belum lagi dukungan di media sosial, termasuk dari perusahaan-perusahaan raksasa semisal Disney dan Alphabet Inc. yang memasang pita hitam di laman Google dan YouTube.

"Kita adalah negara dengan luka yang terbuka. Tidak ada yang bisa berpaling [dari masalah ini]," ucap Joe Biden yang merupakan calon presiden dari Partai Demokrat dan Wakil Presiden era Barack Obama.

Usai bertemu dengan keluarga Floyd, Biden menegaskan kembali soal rasisme yang masih merebak di Negeri Paman Sam itu. Dilansir VOA, Biden mengkritik Trump, "Ini bukan waktunya untuk twit provokatif. Bukan waktu untuk menghasut kekerasan." 

Trump sendiri mengatakan, pemerintah federal sedang berkoordinasi dengan pemerintah daerah di seluruh AS, sebagai respons atas penggunaan militer yang meningkat. "Pemerintahan saya akan menghentikan aksi kekerasan dan menghentikannya dengan tangan dingin," ucap Trump. 

Flora Libra Yanti