Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengaku heran ada pihak yang menggunakan teror untuk mencegah diskusi yang digelar mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Padahal, hak menyatakan pendapat itu dilindungi konstitusi atau undang-undang.
"Kok ada sebuah nilai demokratis yang represif, yang jauh. Padahal kita tahu reformasi konstitusi yang berdarah-darah," kata Refly dalam webinar bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitualitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19", Senin (1/6).
Menurutnya, reformasi konstitusi yang dihasilkan 21 Mei 1998 dengan puncaknya penurunan presiden Soeharto, itu merupakan reformasi membungkan rezim, salah satunya rezim yang menghalangi kebebasan berpendapat tidak hanya kalangan kampus, tapi secara umum atau semua kalangan.
"Saya berharap bahwa setelah reformasi, itu tidak ada sebuah kejadian orang dilarang untuk berbicara, dilarang untuk berpikir. Tetapi yang terjadi sekarang, kampus pun yang masih memiliki bendera kebebasan akademik, otonomi kampus dan kebebasan mimbar akademik, masih juga [terjadi]," ujarnya.
Refly mengungkapkan, hal itu juga tidak menutup kemungkinan karena pada era tingginya persaingan politik, kadang-kandang kampus pun terlibat dalam dinamika hegemoni politik. Kampus kerap menjadi bagian kampanye calon presiden dan wakil presiden.
"Ketika saya ceramah di UGM pada Ramadan, tidak seharusnya kampus itu digunakan oleh kekuatan politik apapapun untuk stempel. Kan sering sekali alumni UGM, UI dan sebagainya mendukung calon presiden tertentu. Saya katakan, mendukung capres tertentu dukunglah berdasarkan individual basic bukan membwa nama kampus," katanya.
Tidak boleh membawa lembaga kampus, lanjutnya, karena ketika kampus dibawa pada "ayunan" politik, maka saat akhirnya politik tidak prokampus tersebut maka kampus itu akan mengalami kesulitan.
"Ini yang saya katakan kepada mahasiswa-mahasiswa UGM. Karena itu saya katakan, mereka harus netral. Tapi netral harus tetap kritis, sebagai insan akademis dan intelektual," ujarnya.