Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara Refly Harun secara pribadi mengharapkan tidak lagi terjadi pemberhetian presiden sebelum waktu jabatannya berakhir. Namun meminta presiden mengundurkan diri dari jabatannya adalah sah secara konstitusi atau konstitusional.
"Saya berhadap dari diri saya bahwa tidak ada lagi cerita presiden dijatuhkan di tengah jalan," kata Refly dalam webinar bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitualitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19", Senin (1/6).
Ia berharap demikian, karena menurutnya, maksud bangsa ini mengubah konstitusi agar tidak terjadi lagi peristiwa seperti yang dialami Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gud Dur) yang diberhentikan akibat subjektivitas politik.
"Karena tahun 65, 66 presiden sudah populer lagi pascapemberontakan G 30 SPKI. Tahun 2001 sangat minoritas sekali dukungan terhadap Gus Dur sehingga kedua presiden bisa dijatuhkan dengan subjektivitas yang tinggi, yaitu salah satunya melanggar haluan negara," ujarnya.
Pasal pemberhentian presiden kemudian melimitasi soal pemberhetian di tengah jalan. "Sehingga diharapkan tidak ada lagi presiden jatuh di tengah jalan," ujarnya.
Refly juga menjelaskan soal pengunduran diri presiden dan wakilnya. Pengunduran diri itu merupakan hak presiden dan waliknya atau pun pejabat. Pengunduran diri ini merupakan subjektivitas yang bersangkutan.
"Pengunduran diri itu adalah hak subjektif pejabat yang bersangkutan. Kalaupun ada sedikit imbauan atau sebuah dasar hukum, maka kita bisa merujuk TAP MPR No. 6 Tahun 2001 tentang Etika Berbangsa dan Bernegara," ujarnya.
Dalam TAP MPR itu menyatakan, kalau pejabat negara tersebut sudah tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat, maka sebaiknya mengundurkan diri. "Hal ini tidak hanya berlaku bagi presiden saja, untuk semua pejabat negara, karena arasnya adalah etika," ujarnya.
Karena arasnya etika, lanjut Refly, maka tidak boleh ada pemaksaan. "Makanya dalam twit saya mengatakan, meminta presiden mundur itu sah secara konstitusi dan sah dalam alam yang demokratis. Tapi memaksa itu yang tidak boleh, itu dalam aras tadi, 2 tadi, konstitualitas dan inkonstitusionalitas," ujarnya.