Home Politik Pendapat Refly Harun, Diskusi Pemberhentian Presiden & Teror

Pendapat Refly Harun, Diskusi Pemberhentian Presiden & Teror

Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat adanya rencana diskusi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari sistem Ketetatanegararan" di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang batal digelar dan munculnya teror pembunuhan harus dilihat dari berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini.

"Kenapa ada proses seperti ini, kita harus lihat latar belakang akhir ini. Saya pribadi misalnya, kalau kita letakkan pada perkembangan-perkembangan terakhir ada bebeberapa hal, misalnya di bidang hukum," kata Refly dalam webinar bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitualitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19", Senin (1/6).

Refly sependapat dengan narasumber sebelumnya, salah satu persoalan di bidang hukum, di antaranya soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarkata (Ormas) yang disahkan menjadi UU.

"Kita tahu, saya secara pribadi bersama Prof. Suteki bahwa Perppu ini adalah yang antidemokrasi. Tapi akhirnya tidak bayak orang yang sependapat karena hanya mengikuti genderang kekuasaan. Sehingga yang terjadi adalah kekusaan dan arus mayoritas mengamini Perppu ini," ujarnya.

Bahkan, lanjut Refly, institusi negara hingga guru besar pun mengamininya. Padahal kita tahu bahwa persoalan dasar Perppu Ormas ini adalah bisa membubarkan Ormas tanpa proses hukum (do process of law). "Padahal kita tahu bahwa do process of law adalah ciri masyarakat hukum," ujarnya.

Selian itu, lanjut Refly, ada juga persoalan tentang presidetial treshold. Ia mengaku tidak habis pikir lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) pun mempertahankan ketentuan presidential treshold ketika pemilu sudah serentak yang mengakibatkan partai baru kehilangan konstitusionalnya.

"Terlepas mereka tidak menggunakan hak konstitusionalnya, tetapi partai baru itu, PSI misalnya, Perindo, Garuda, dan kemudian Partai Berkarya. Empat partai baru itu yang kehilangan konstitusional stadingnya untuk mengajukan atau mencalonkan presiden dan wakilnya," ujar Refly.

Menurutnya, ini cukup alasan untuk menyatakan bahwa presidential treshold ini bertentangan dengan konstitusi karena menghilangkan hak konstitusional yang sudah diberlakukan. Masalah ini lolos di DPR dan juga MK.

"Kalau soal lain yang juga patut dicatat adalah mengenai, dulu saya termasuk yang mengatakan, ini bagus pertumbuhan ekonomi, tapi ketika masa pandemi Covid-19, ini sudah terlihat bahwa kelihatannya negara ini mulai bangkrut, uang sudah tidak ada lagi. Jaminan-jaminan warga negara bisa makan semua, sulit bagi pemerintah," ujarnya.

Menurutnya, ketika pemerintah mau menjalankan skenario new normal, banyak yang mengkritik karena itu seperti wujud ketidakmampuan atau ketidakpercayan pemerintah soal Covid-19 ini. Di negara lain, mereka melakukan new normal setelah berhasil mengatasi paling tidak untuk sementara waktu (for time being).

"Di Indonesia belum ada kejelasan apakah kita dianggap berhasil lalu kemudian menuju fase berikutnya, new normal. Persoalan itu juga," katanya.

Sedangkan persoalan politik yang paling menjdi masalah, lanjut pria yang sekarang disebut juga sebagai pengamat politik ini, terjadinya oligarki politik yang luar biasa di Indonesia. Kekuasaan politik formal sangat solid suara-suara rasional atau lainnya itu kadang direpresif.

"Belum lagi peran-peran lainnya juga, kita di era medsos ini peran buzzer dan sebagainya, fans club dan sebagainya," kata Refly.

Karena banyaknya peran lainnya tersebut, maka ia berpendapat jauh lebih sulit menjadi pengamat politik yang independen dan tidak digaji negara daripada menjadi pejabat negara itu sendiri.

"Kalau jadi pengamat politik independen, malah kita bisa diserang. Hari ini misalnya, mulai ada serangan terhadap Dekan UGM yang memberitakan dia sebenarnya, dan lain-lain dengan bahasa provokatif. Saya kira yang hadir di sini, semua pembicara di sini, begitu bersuara keras dengan pemerintahan sekarang akan sudah mulai juga, hati-hati, siapa Profesor Susi [Susi Dwi Harijanti] itu," ujarnya berseloroh.

Sebelumnya, dikusi mahasiswa "Constitutional Law Society yang rencananya digelar 29 Mei 2020 batal digelar karena adanya berbagai ancaman kepada panitia, pembicara, hingga keluarga terkait. Teror di ataranya ancaman pembunuhan yang disampaikan atas nama ormas tertentu.

284