Sebuah Refleksi: Masih(kah) Pancasila Dasar Negara?
Oleh : Wibisono*
Hari ini, Senin, 1 Juni 2020 bangsa Indonesia merayakan hari lahirnya Pancasila. Indonesia sebagai negara besar membutuhkan pengikat persatuan dan kesatuan. Ini penting karena kebhinekaan yang dimiliki Indonesia sangat beragam dan kompleks. Selama ini peran pengikat itu dilakukan dengan sangat baik oleh dasar negara kita yaitu Pancasila. Namun seiring berjalannya waktu terutama pasca reformasi, peranan Pancasila sebagai falsafah hidup dalam bermasyarakat mulai pudar.
Sejak berdirinya bangsa ini tidak satu pun orang menolak Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, dan tak satupun penulis secara ilmiah berani menyampaikan bahwa Pancasila bukan ideologi dan dasar negara.
Lantas muncul pertanyaan, kalau memang Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara kenapa tidak disebut dalam Undang Undang Dasar 45 (UUD 45)?. Sedangkan di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar pada alinea ke-empat langsung disebut 5 sila dalam Pancasila.
Mengenai tidak ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara di dalam UUD, karena ada kekhawatiran kalau disebut dalam UUD nantinya akan diamandemen. Saat UUD 1945 diamandemen dan disepakati ada beberapa yang tidak boleh dirubah, di antaranya Pembukaan UUD dan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka ditambahkan saja pasal dalam UUD bahwa Pancasila tak bisa diubah dengan cara apa pun.
Sejak UUD 1945 yang manipulatif itu (baca: hasil amandemen 2002) diberlakukan, Pancasila sudah tidak lagi sebagai dasar negara kita. Memang lima sila itu disebut di dalam Pembukaan UUD, tapi apalah artinya jika apa yang tertuang di dalam Pembukaan itu, tidak dijabarkan atau dituangkan di batang tubuh UUD yang berupa pasal-pasal, Bahkan dalam kenyataannya sangat bertentangan. Misalkan kata efisiensi dalam ayat 4 pasal 33, jelas berlawanan dengan semangat gotong royong untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula pasal-pasal tentang pemilu dan pilpres, jelas menutup rapat semangat dari sila ke empat yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Kita sekarang berada dalam situasi dan kondisi didesain 'pembelahan horizontal' yang sangat berbahaya, sedangkan kekuasaan mengelola negara hanya dikuasai oleh ketua-ketua partai para elite di pemerintahan serta kroninya, sementara mereka sendiri dikuasai pula oleh para kapitalis atau konglomerat dalam negeri maupun dari luar negeri (asing).
Sistem politik yang sesuai untuk masyarakat Pancasila adalah yang ada dalam UUD 1945 sebelum ada amandemen empat kali, maka dari itu seruan untuk kembali ke UUD 45 yang asli sudah mulai didengungkan oleh beberapa tokoh nasional dan kalangan akademisi.
Jadi jelas, bahwa sekarang ini Pancasila tidak ada dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia, dan orang orang atau para pejabat negara yang gembar-gembor sok 'Pancasilais' itu ternyata pembohong (hipokrit). Mari kita bangun kesadaran kehidupan berdasarkan Pancasila, tapi nyatanya belum ada, oleh sebab itu harus kita perjuangkan.
Selanjutnya, kita harus membangun narasi yang baik, jelas dan tegas bahwa Pancasila sekarang ini tidak ada dalam sistem politik dan UUD 1945 yang non orisinal (baca: UUD amandemen 2002), kecuali sekedar hiasan di Pembukaan.
Pembukaan tulisan jelas bahwa Pancasila belum terwujud di bumi Indonesia. Maka kita wajib "Kembali ke UUD 1945" yang asli sebelum amandemen, UUD 1945 versi 18 Agustus 1945. Dalam rangka kita berjuang untuk mengatasi kemiskinan masyarakat yang masih memprihatinkan.
Kontroversi RUU HIP
Terkini, Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dinilai oleh publik sebagai salah satu RUU kontroversial yang dibahas DPR di tengah pandemi corona. Kontroversial itu dilihat dari sudut pandang, pembahasan, pengesahan, dan juga substansinya.
RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) merupakan program legislasi prioritas DPR RI tahun ini, dan sudah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi usul inisiatif DPR RI. Persetujuan itu diperoleh setelah sembilan fraksi mendukungnya. Awalnya RUU merupakan inisiatif dari fraksi PDI Perjuangan melalui Baleg yang kemudian disetujui oleh sidang paripurna DPR RI.
RUU HIP terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal. Pada bagian “Menimbang” dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara merupakan suatu haluan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur melalui Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehdupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa untuk mencapai tujuan bernegara diperlukan kerangka berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila. Dengan demikian RUU ini disusun atas dasar belum adanya undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlu dipahami bahwa dasar hukum berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh karena itu kalau Pancasila yang dimaksudkan dalam RUU HIP itu adalah Pancasila yang berlaku sekarang maka Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran RUU. Selain itu bicara Pancasila kaitannya dengan dasar falsafah negara harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1.
Selain itu Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai pedoman larangan ideologi komunisme, Marxisme-Leninisme seharusnya juga dimasukkan dalam bagian konsiderannya. Tap MPRS tersebut berisi tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan paham atau ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme di Indonesia.
Selanjutnya untuk apa haluan Ideologi Pancasila dijadikan Pedoman Penyelenggara Negara dalam melaksanakan kebijakan Pembangunan Nasional, sedangkan MPR RI sebagai penjelmaan dari kedaulatan rakyat telah menyepakati adanya empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, kalau hanya berdasarkan Haluan Ideologi Pancasila, maka bisa memicu perpecahan bangsa.
*Penulis adalah Pengamat Militer dan Pertahanan. Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN)