Palembang, Gatra.com – Lahirnya Undang-Undang (UU) Minerba dinilai tidak menyelesaikan permasalahan tambang di Indonesia. Permasalahan tambang yang kompleks malah diperparah terbitnya UU Minerba di saat masyarakat masih menghadapi wabah covid 19.
Dalam sidang rakyat yang digelar secara virtual, Penalis dari LBH Padang, Wendra Rona Putra mengatakan praktek-praktek tambang di Indonesia saat ini masih bermasalah, mulai dari perizinan tambang, aktivitas tambang yang berakibat buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat, lalainya kewajiban reklamasi pasca tambang hingga sektor pendapatan tambang. Terbitnya UU Minerba, tidak sedikitpun menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut
“Misalnya saja pada 2004 lalu, bersama KPK juga sudah mengevaluasi izin tambang yang clear dan non clear, tapi tidak juga beres. Mendengarkan suara masyarakat dari wilayah tambang, seperti sidang rakyat ini, berusaha menghantarkan suara-suara tersebut guna memberitahu pemerintah kondisi selama ini,” ungkapnya, Minggu (31/5).
Minggu pagi harinya, sidang rakyat virtual ini menghadirkan perwakilan masyarakat yang berada di wilayah tambang di Pulau Sumatera, salah satunya di Lahat, Sumsel, Sahwan. Ia menceritakan praktek PLTU mulut tambang, Keban Agung telah memberikan efek buruk baik bagi ekonomi petani, serta kesehatan seperti halnya polusi udara.
“Jalan lintas di daerah kami, misalnya lintas Muramau masih ada angkutan batu bara yang melintas di jalan umum. Sudah sering kami lakukan penyegelan jalan menolak aktivitas tersebut. Pergub 78 juga tidak menjamin tidak ada angkutan batubara di jalan umum di kabupaten Lahat,” ungkapnya.
Aktivitas PLTU mulut tambang juga sangat merugikan petani, seperti tercemarnya Sungai Pungkilan yang beberapa bulan lalu malah terjadi banjir dan longsor. Akibatnya, banyak tanaman yang mati. Selain itu, kata dia, aktivitas penambangan (blusting) perusahaan tambang di Lahat juga mengancam bukit Selero yang merupakan icon daerah. “Ada icon daerah kami, seperti bukit Selero dan sungai Lematang yang terancam, atas aktivitas tambang ini. Karena itu, kami menuntut UU Minerba untuk dicabut, termasuk izin-izin tambang yang merugikan masyarakat,” terangnya.
Selain masyarakat, hadir juga perwakilan mahasiswa BEM Universitas Sriwijaya (Unsri), Muadz Aminuddin yang menyatakan UU Minerba yang disahkan DPR, sangat tidak mewakili masyarakat terutama di wilayah tambang. Keberpihakan pada oligarki menyebabkan kualitas udara di Muara Enim sangat tidak sehat. Debu-debu hasil tambang batu bara membatasi jarak pandang. Sedangkan sungai Musi yang menjadi tulang punggung ketersediaan air bagi masyarakat Sumsel, terutama Palembang juga terganggu akibat proses angkutan batubara. “Sangat menyayangkan, saat masyarakat berjuang melawan covid 19, wakil rakyat malah kebut kejar tanyang UU Minerba. Sebenarnya itu, mewakili kepentingan siapa,” tanya Muadz.
Praktek buruk akan sektor tambang juga disampaikan oleh masyarakat dari ujung utara Aceh hingga Sumatera bagian selatan, terutama Provinsi Bengkulu yang banyak terdapat pembangunan PLTU.