Yogyakarta, Gatra.com - Diskusi soal pemakzulan presiden urung digelar oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada karena penyelenggara acara itu diteror. Salah satu korban teror adalah pembicara dari Universitas Islam Indonesia (UII), sementara peneror menyebut dirinya dari ormas Muhammadiyah Klaten. Pihak UII dan Muhammadiyah Klaten pun mendesak aksi teror ini diusut.
"Meminta aparat penegak hukum untuk memproses, menyelidiki, dan melakukan tindakan hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi dengan tegas dan adil," ujar Rektor UII Fathul Wahid dalam pernyataan tertulis, Sabtu (30/5).
Ia juga meminta aparat hukum memberikan perlindungan terhadap panitia dan narasumber, serta keluarga mereka, dari tindakan intimidasi lanjutan, termasuk ancaman pembunuhan.
Fathul menyebut diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” murni aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar di media massa online atau media sosial.
"Tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, yang lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah hukum konstitusi," ujarnya.
Menurut dia, intimidasi terhadap panitia dan narasumber diskusi tidak dapat dibenarkan secara hukum dan akal sehat. "Diskusi belum dilaksanakan, materi belum pula dipaparkan, tetapi penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar sudah disampaikan," katanya.
UII menilai tudingan makar dan teror itu tidak proporsional, mengancam kebebasan berpendapat dan tidak bisa ditoleransi oleh hukum. "Oleh karena itu, harus ada tindakan yang tegas dari penegak hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan," ujar Fathul.
UII pun mengutuk keras intimidasi ke penyelenggara dan narasumber diskusi FH UGM dan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mengawal penuntasan kasus ini.
Selain itu, UII meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan terselenggaranya kebebasan akademik. "Ini demi menjamin Indonesia tetap dalam rel demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum," kata Fathul.
Secara terpisah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyatakan tak terkait teror ini. Sebab teror itu termasuk dua pesan ancaman pembunuhan dengan pengirimnya menuliskan "saya dari ormas Muhammadiyah Klaten".
"Muhammadiyah Klaten mengecam pencatutan nama 'ormas Muhammadiyah Klaten' dalam tindakan teror pelaksanaan diskusi ilmiah tersebut," tulis Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten, Abdul Rodhi dalam siaran persnya.
Menurutnya, teror itu dapat merusak nama baik Muhammadiyah dan berpotensi mengadu domba dan memecah belah masyarakat. "Kami mendesak Polri mengusut tuntas tindakan tindak pidana, pencatutan nama, fitnah, ancaman, teror, dan intimidasi terhadap penyelenggaraan diskusi tersebut," tuturnya.