Jambi, Gatra.com - Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Provinsi Jambi menilai gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak terkesan dipaksakan dan berisiko tinggi.
KOPIPEDE juga menilai kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan antara Komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP, Rabu 27 Mei, bahwa "Pilkada Baru" dilaksanakan 9 Desember dan tahapan dimulai 15 Juni 2020 mengingkari kesepakatan mereka sendiri karena pada tanggal 14 April lalu telah dilaksanakan RDP yang kesimpulannya akan melaksanakan rapat kerja setelah masa tanggap darurat berakhir yaitu tanggal 29 Mei 2020.
"Namun tanggal 27 mereka sudah rapat dan menyimpulkan pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember, mengapa terburu-buru, ada apa? Bila melihat klausula menimbang dan Pasal 201A (1) di Perppu No. 2 Tahun 2020, pilkada ditunda akibat adanya pandemi global Covid-19 dan bencana nasional nonalam serta dalam rangka penanggulangan peyebaran pandemi Covid-19. Pasal 201A (3) juga menjelaskan pilkada lanjutan Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila bencana pandemi Covid-19 belum berakhir," kata M. Farisi Ketua KOPIPEDE Provinsi Jambi kepada Gatra.com, Kamis (28/5).
Farisi menjelaskan, faktanya sampai saat ini pandemi Covid-19 belum berakhir, WHO belum mencabut status pandemi global dan di Indonesia angka kasus positif justru terus bertambah. Berdasarkan Keppres No. 12 Tahun 2020 & SE Gugus Tugas Covid-19 No. 6 Tahun 2020, Indonesia masih dalam status bencana nasional nonalam Covid-19, dan juga Indonesia masih dalam status kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19 berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2020.
"Artinya kesimpulan RDP justru bertentangan dengan maksud dikeluarkannya Perppu itu sendiri dan terkesan memaksakan pilkada di tengah wabah, terlalu berisiko. Perlu diingat tragedi Pemilu 2019 kemarin, 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat kelelahan dalam proses putungsura, sedangkan pilkada tahun ini ancaman lebih nyata, yaitu virus yang tak kasat mata," ujarnya.
Farisi menjelaskan, saat ini Pemerintah memang sedang membangun sikap optimisme/percaya diri dengan istilah normal baru, bahwa pilkada bisa digelar dalam kondisi wabah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, namun optimisme juga harus melihat fakta riil dilapangan bahwa tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah.
"Buktinya masih banyak warga tidak memakai masker, social/ psysical distancing di fasilitas publik seperti pasar tidak diterapkan, masih banyak warga yang nekat mudik, dan lain sebagainya," jelasnya.
Menurut akademisi Universitas Jambi (Unja) ini, hampir semua tahapan pemilu melibatkan kontak fisik bahkan kerumunan masyarakat, seperti petugas PPDP melakukan coklit, verifikasi faktual, rakor, raker, sosialisasi, kampanye, penyiapan logistik, putungsura di TPS, dan sebagainya. Semua kondisi tersebut sangat riskan tertular dan tak ada yang menjamin dan bertanggung jawab bila ada klaster Pilkada.
"Berdasarkan hasil diskusi kami dengan rekan-rekan Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KPPD) se-Indonesia, pelaksanaan pilkada Desember ini terlalu berisiko. Kebetulan anggota KPPD juga banyak yang menjadi penyelenggara di tingkatan bawah, secara psikologis mereka merasakan tidak tenang, ada rasa takut berinteraksi karena khawatir akan tertular," tegasnya.
Farisi menuturkan dalam demokrasi, opini, masukan dan teriakan masyarakat sipil tidak selalu diakomodir. Wakil rakyat dan pemerintah pun telah membuat keputusan.
"Meskipun tidak setuju, lantas apakah kita ngambek dan bilang #IndonesiaTerserah? tentu tidak! maka tugas kita hari ini adalah mengawal sebaik mungkin pelaksanaan pilkada baru di mana protokol kesehatan diterapkan dengan disiplin tinggi dan menjaga substansi penyelenggaraan dan hasil pilkada yang berkualitas," katanya.
Penambahan anggaran untuk alat protokol kesehatan seperti APD, masker, sarung tangan, sabun cuci, tisu anti septik, pelindung wajah, cairan disinfektan dan lain-lain bisa disiasati dengan penghematan kegiatan-kegiatan rakor/raker/sosialisasi yang biasanya dilakukan di hotel, bisa dilakukan secara daring. Dengan demikian, penambahan anggaran pun tidak terlalu membebani APBN.
Ia menambahkan, edukasi tentang pentingnya pilkadapun harus tetap dilakukan dengan memperbanyak MoU dengan dinas pendidikan dan perguruan tinggi untuk menyisipkan materi tetang pemilu pada pelajaran/matakuliah kewarganegaraan atau pancasila.
"Kemudian juga bisa membentuk Relawan Edukasi Daring Kepemiluan yang bertugas mengedukasi masyarakat melalui media sosial tentang hakekat dari pilkada, supaya partisipasi tetap tinggi dan berkualitas," ucapnya.