Pandemi Covid-19 mendorong banyak negara untuk memperkuat ketahanan pangannya. Melambatnya roda ekonomi, tersendatnya produksi dan terhentinya laju transportasi dalam jangka waktu lama, diprediksi bakal mengancam ketersediaan, pasokan dan distribusi bahan pangan secara global.
Apalagi saat ini, di tengah-tengah kelangkaan pasokan pangan, setiap negara akan memilih untuk memprioritaskan ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya masing-masing. Distribusi pangan yang cepat menjadi persoalan baru, disamping sejumlah masalah yang bakal muncul seperti stok ketersediaan bahan pangan, ancaman kekeringan dan kegagalan panen.
Kelaparan dan kekurangan pangan sudah menjadi ancaman yang nyata. Penduduk di Guatemala bahkan sudah mengibarkan bendera putih, pertanda kelaparan dan mendesak adanya bantuan makanan. Itu terjadi bahkan sejak awal April. Tepatnya di Desa Patzun tidak lama setelah dilakukan karantina karena deteksi pertama pasien yang terkena Covid-19 ditemukan di penduduk desa itu.
The Guardian, Jumat (22/5) melaporkan di Guatemala warna bendera-bendera yang dikibarkan memiliki arti tersendiri. Putih untuk kebutuhan makanan, merah membutuhkan obat, sedangkan hitam, kuning dan biru berarti seorang wanita, anak-anak dan lanjut usia ada dalam bahaya kekerasan. Sosok-sosok yang bergabung dalam barisan pengibar bendera putih terus bertambah.
Catatan per Jumat lalu (22/5) di Guatemala, virus Corona baru telah menginfeksi 2.265 orang dan menimbulkan 45 kematian. Tidak hanya mengancam jiwa, wabah ini benar-benar telah mendorong jutaan orang Guatemala masuk dalam jurang kesengsaraan karena pengangguran, kemiskinan dan kelaparan.
Kekuatan Pangan Lokal Alternatif di Indonesia
Bagi Indonesia yang masih sangat tergantung pada beberapa komoditas pangan impor, seharusnya bahan pangan lokal dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Negeri agraris ini tidak boleh memiliki ketergantungan yang besar pada bahan pangan impor, seperti gandum, kedelai dan daging dari luar. Di banyak daerah di tanah air telah berabad-abad tumbuh beragam jenis tumbuhan penghasil bahan pangan lokal, dengan tradisi masyarakat yang kuat untuk terus mengkonsumsinya.
Menurut pengajar dan pemerhati masalah pangan dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon Febby J. Polnaya faktor kultur atau tradisi mengonsumsi pangan lokal sangatlah penting.
‘’Pasalnya, jika kita terus bertahan dengan pangan dari luar yang impor, ini menjadi beban bagi keuangan Negara,’’ katanya kepada Tiara Melinda dari Gatra Review.
Pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unpatti ini mengungkapkan bahwa Maluku secara umum lebih dikenal dengan sagu sebagai pangan lokal. Walaupun demikian saat ini tidak semua kabupatennya punya sagu.
‘’Saat ini pangan lokal sagu terbanyak ada di Kabupaten Maluku Tengah. Sedangkan di Kabupaten Buru ada pangan lokal namanya hotong,’’ ungkapnya.
Lalu Kabupaten seperti Maluku Tenggara, Kepulauan Tanimbar dan Maluku Barat Daya punya umbi-umbian sebagai pangan lokal. Meskipun umbi-umbian tersebut tumbuh juga di daerah lain, tapi secara spesifik bagi warga lokal, umbi-umbian itu merupakan pangan lokal alternatif sebagai sumber karbohidrat.
Menurut Febby, pangan lokal punya keunggulan dibandingkan beras. Sagu dan umbi-umbian memiliki nilai tertentu yang disebut pangan fungsional karena memiliki fungsi tertentu bagi tubuh. ‘’Kita punya keladi dari Pulau Saparua, Maluku Tengah yang di dalamnya ada inulin. Atau di sagu ada pati resistennya,’’ ujar Febby.
Inulin dan pati resisten ini secara awam dapat disebut sama dengan serat. Inulin yang tinggi membantu orang yang mengkonsumsi memperoleh karbohidrat tetapi tidak menghasilkan gula di dalam tubuh. Menurut Febby pakan lokal dengan inulin dan pati resisten tinggi baik untuk mencegah diabetes dan untuk penderita diabetes. Penyakit diabetes sendiri dapat memicu beragam penyakit yang lain seperti sakit ginjal, jantung dan sakit yang terkait dengan pembuluh darah.
Memperkuat Budidaya Perikanan Lokal
Pemenuhan kebutuhan protein dengan berbasis budidaya perikanan lokal masih minim. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Anton Leonard di kantornya Jalan Juanda 2 Jakarta Pusat. ‘’Memang kita belum mulai bergerak di budidaya,’’ katanya.
Melihat potensi lahan untuk budidaya perikanan sangat besar mestinya Indonesia dapat menjadi nomor satu. Namun kenyataannya, kata Anton, dengan Vietnam saja kalah. Untuk memajukan budidaya perikanan, Dia menekankan pentingnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun sistem database yang lengkap baik kemampuan dan kondisi lahan di daerah pesisir.
Berpijak pada database yang komprehensif tersebut, barulah langkah pengembangan budidaya perikanan dilakukan, baik dari aspek jenis ikan, bibit, teknis produksi, obat-obatan, pengolahan, sumber daya manusianya, sampai pemasarannya. Aspek pemasaran ini sangat penting dan sensitif, karena dunia membutuhkan ikan, tapi yang menguasai pemasarannya itu hanya kelompok-kelompok tertentu.
‘’Kalau saya boleh sebut katakanlah saudara-saudara kita yang Chinese. Sehingga harus ada strategi bagaimana mempunyai tim pemasaran untuk masuk ke jaringan saudara-saudara kita yang Chinese agar mampu memasarkan potensinya ke tingkat dunia,’’ beber Anton.
Menurut Anton dalam membangun perekonomian, para pemangku kepentingan harus memiliki konsep bisnis dan sense of business. Nah para pelaku budidaya perikanan harus memiliki konsep bisnis yang jelas. Dengan cara demikian maka ekonomi nasional dapat bergerak dengan berpijak pada daerah-daerah yang memiliki potensi pesisir yang besar dan konkrit.
Sebenarnya pemerintah dapat bercermin pada pengalaman masa lalu, dimana banyak tambak rusak karena tidak dikelola dengan baik. Juga konsep yang dilakukan Dipasena di Lampung yang akhirnya gagal total karena konglomerasi tidak memiliki titik temu dengan perikanan rakyat.
Memenuhi Unsur Beragam, Bergizi, Sehat dan Aman (B2SA)
Pengembangan teknologi untuk pangan lokal sejatinya sudah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian (BB-Litbang Pasca Panen) Kementan sejak awal berdirinya pada tahun 2003. Namun akselerasi untuk pangan lokal baru dilakukan tahun 2018 lalu. Hal itu diungkapkan oleh Profesor Jony Munarso peneliti pada BB-Litbang Pasca Panen Kementan kepada Gatra Review.
Di tahun 2018 fokusnya pada penguasaan pengembangan pangan lokal secepat mungkin. Lalu tahun 2019 basisnya pada penguatan pengembangan pangan lokal melalui model agribisnis. Aspek agribisnis ini mencakup diversifikasi pangan lokal dan juga meningkatkan ekonomi petani sekaligus.
‘’Pada intinya jangan sampai tergantung pada komoditas tunggal seperti beras saja tapi juga umbi-umbian, kacang-kacangan dan sayuran untuk memenuhi unsur beragam, bergizi, sehat dan aman atau B2SA,’’ kata Jony.
Kunci dari pengembangan pangan lokal, menurut Jony adalah local wisdom atau juga tradisi pangan lokal masyarakat yang dibarengi dengan pembuktian riset atas manfaat dan pengembangan potensi tanaman pangan lokal dari aspek ekonominya.
Dia menunjuk sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Hanjeli sebagai biji-bijian pengganti beras yang jadi favorit warga di Wado Sumedang dan di daerah lain seperti Sukabumi dan Garut.
Jony melihat saat ini prospek pangan lokal makin kuat seiring dengan manfaat lebih dari mengkonsumsi pangan lokal. ‘’Setelah rutin makan umbi-umbian dan biji-bijian lokal badan makin segar dan sejumlah penyakit seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan kolesterol hilang,’’ katanya.
Kementan sendiri sudah memetakan potensi pangan lokal di setiap daerah. Dari peta tersebut, perlu para pemangku kepentingan di bidang pangan mengembangkannya, terutama pemerintah daerah dari tingkat provinsi sampai kabupaten. Pada sejumlah pengalaman di daerah, menurut Jony, pengembangan industri pangan lokal sering terkendala pada penyediaan bahan baku, dukungan kebijakan, dan konsistensi penanaman. Masalah tersebut telah merusak embrio mata rantai industri pangan lokal.
G.A. Guritno, Dwi Reka Barokah, M. Guruh Nuary