Banyumas, Gatra.com – Tetua Adat Komunitas Banokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah melarang anak putu atau keturunan Banokeling mengikuti tradisi sowan Panembahan Banokeling dan sungkem pada perayaan Lebaran Idul Fitri mendatang.
Juru Bicacara Komunitas Banokeling, Sumitro mengatakan, biasanya Komunitas Banokeling menggelar ziarah ke Penembahan Banokeling dan Sungkeman di balai desa. Dalam kondisi normal, ratusan orang mengikuti acara ini. Mereka adalah warga di Pekuncen dan juga anak putu yang mudik lebaran.
"Tidak ada. Sekarang yang ikut orangnya terbatas, kemarin Likuran saja hanya diikuti oleh sembilan orang,” katanya, Kamis (21/5).
Lantaran ada pembatasan interaksi atau physical distancing, Komunitas Banokeling menggelarnya tanpa kehadiran masyarakat. Ziarah hanya diikuti oleh delapan orang. Begitu pula dengan sungkeman di balai desa yang hanya diikuti oleh delapan orang.
“Yang ikut kiai kunci satu, lima bedogol, kayim, sama Pak Lurah,” ungkapnya.
Baca juga : Komunitas Banokeling Berlebaran pada Senin 25 Maret
Sumitro mengatakan, larangan keikutsertaan anak putu dalam tradisi lebaran ini juga sesuai dengan anjuran pemerintah yang melarang acara melibatkan banyak orang. Pembatasan peserta ini penting untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
“Maksimal kan 10 orang. Kalau nanti yang ikut ya delapan orang, berarti,” ujarnya.
Komunitas Banokeling telah menentukan 1 Syawal atau hari lebaran tiba pada Senin Manis (25/5), atau selang sehari setelah ketentuan pemerintah yang diperkirakan menetapkan 1 Syawal pada Minggu (24/5), memperhitungkan awal Ramadan yang juga selang sehari.
Aboge memiliki rumus Waljiro atau Syawal Siji Loro, yang berarti hari raya Idul Fitri tiba pada hari pertama dan pasaran kedua. Hari pertama dalam Aboge adalah Senin, sedangkan pasaran kedua adalah Manis.
“Tahun Wawu, 1 Suranya Selasa Kliwon. Lebaran dengan rumus Waljiro, sehingga Bada (lebaran) tiba di hari Senin Manis,” jelas Sumitro.