Home Internasional Korporasi Global Bersiap Meninggalkan Cina

Korporasi Global Bersiap Meninggalkan Cina

Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang berencana memindahkan sejumlah pabrikan mereka keluar dari Cina. India melihat kesempatan dengan rencana mengubah UU Pajak untuk menarik investor asing. 


Gangguan rantai pasokan dari Jepang ke Cina akibat pandemi COVID-19, membuat pemerintah negeri Matahari Terbit itu khawatir dengan masa depan industri mereka. Jalan keluar pun dipilih. Pemerintah memutuskan menggelontorkan sekitar ¥243,5 miliar atau sekitar Rp33,6 triliun sebagai paket dukungan ekonomi, membantu perusahaan-perusahaan produsen Jepang mengalihkan produksi keluar dari negeri Tirai Bambu. 

Dilansir Japan Times, pemerintah menerbitkan informasi ini lewat sebuah unggahan daring, sejak awal April lalu. Diketahui, ada anggaran tambahan untuk mengimbangi dampak pandemi, termasuk ¥220 miliar atau Rp30,32 triliun bagi perusahaan yang mengalihkan produksi kembali ke Jepang dan ¥23,5 miliar atau Rp32,4 triliun bagi yang ingin memindahkan produksi ke negara lain.

Selama ini, Cina adalah mitra dagang terbesar Jepang dalam keadaan normal. Namun impor Cina merosot hampir setengahnya pada Februari ketika pandemi, berakibat ditutupnya pabrik-pabrik penting. Hal ini membuat produsen suku cadang Jepang berada dalam kondisi terpuruk.

Kondisi ini menimbulkan munculnya wacana mengurangi ketergantungan Jepang kepada Cina sebagai basis manufaktur. Panel pemerintah tentang investasi masa depan, pada bulan lalu membahas gagasan pengalihan produksi produk bernilai tambah tinggi ke Jepang, juga masalah produksi barang-barang lain yang akan disebar di seluruh Asia Tenggara.

"Akan ada satu perubahan," kata Ekonom di Japan Research Institute, Shinichi Seki. Ia mengatakan, beberapa produsen Jepang di Cina yang fokus pada ekspor sudah mempertimbangkan untuk pindah. Namun, perusahaan seperti pembuat mobil, yang memproduksi untuk pasar domestik Cina, kemungkinan akan tetap bertahan.

Dalam sebuah data yang dikumpulkan dari berbagai industri, diketahui bahwa Jepang mengekspor komponen dan barang setengah jadi, paling banyak ke Cina dibanding ke negara-negara industri lainnya. Sebuah penelitian oleh Tokyo Shoko Research Ltd. pada Februari lalu menemukan, 37% lebih dari 2.600 perusahaan yang disurvei menyatakan melakukan diversifikasi pengadaan ke tempat-tempat selain Cina di tengah krisis kesehatan ini.

Keputusan perusahaan asing untuk hengkang tentu tak begitu saja dibiarkan Cina. "Kami melakukan yang terbaik untuk melanjutkan pembangunan ekonomi. Dalam proses ini, kami berharap negara-negara lain akan bertindak seperti Cina dan mengambil langkah-langkah tepat untuk memastikan ekonomi dunia akan terkena dampak sesedikit mungkin. Juga untuk memastikan bahwa rantai pasokan terkena dampak sesedikit mungkin," tutur Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian.

 

***

 

Di belahan lain dunia, India berusaha menawarkan sejumlah kemudahan bagi Amerika Serikat agar bersedia memindahkan perusahaan-perusahaan mereka keluar dari Cina, termasuk perusahaan farmasi raksasa, Abbott Laboratories dan Medtronic Plc. Upaya ini muncul di tengah kritik keras Presiden Donald Trump yang menuding Beijing sengaja membuat dan menyebarkan virus corona.

Sejak bulan lalu, perwakilan pemerintah India menjangkau lebih dari 1.000 perusahaan di AS. Melalui pejabat misi luar negeri, mereka menawarkan insentif bagi produsen yang ingin pindah dari Cina. Hal tersebut disampaikan sejumlah pejabat India yang meminta untuk tidak diidentifikasi, mengutip peraturan tentang berbicara dengan media, seperti dilansir Bloomberg. India memprioritaskan perusahaan pemasok peralatan medis, unit pemrosesan makanan, tekstil, pembuat kulit, dan suku cadang mobil di antara lebih dari 550 produk yang tercakup dalam diskusi pemerintah.

Bagi Perdana Menteri India, Narendra Modi, lonjakan investasi akan membantu menopang perekonomian yang terpukul oleh delapan minggu lockdown nasional. Jika perpindahan ini terjadi, maka bisa pula membantunya mengimbangi target untuk menumbuhkan sektor manufaktur hingga 25% produk domestik bruto pada 2022, naik dari 15%.

Kebutuhan untuk menciptakan lapangan kerja saat ini di India dianggap lebih mendesak, sebab pandemi menyebabkan 122 juta orang menganggur. "Ada peluang bagi India untuk mencoba mendapatkan tempat dalam rantai pasokan global, tetapi ini akan membutuhkan investasi serius dalam infrastruktur dan tata kelola. India menghadapi persaingan ketat dari tempat lain di Asia Selatan dan Tenggara," ujar Paul Staniland, profesor di Universitas Chicago yang menulis tentang politik dan kebijakan luar negeri India.

Para pejabat India merayu pengelola korporasi global, bahwa negeri itu lebih ekonomis dalam hal ketersediaan lahan dan tenaga kerja terampil yang terjangkau daripada jika pabrikan pulang kembali ke AS atau pindah ke Jepang. Meskipun biaya keseluruhan masih lebih tinggi daripada Cina.

Mereka juga menawarkan jaminan bahwa India akan mempertimbangkan permintaan khusus tentang perubahan Undang-Undang Perburuhan, yang telah terbukti menjadi batu sandungan utama perusahaan. Pemerintah menambahkan, siap mempertimbangkan permintaan dari perusahaan e-commerce untuk menunda pajak atas transaksi digital yang diperkenalkan pada anggaran tahun ini.

Kementerian Perdagangan India telah meminta umpan balik terperinci dari perusahaan-perusahaan AS tentang perubahan yang diperlukan untuk membuat Undang-Undang Pajak dan Ketenagakerjaan, agar lebih menguntungkan bagi perusahaan, kata seorang pejabat. Pemerintah federal Modi bekerja dengan negara-negara bagian untuk memastikan solusi jangka panjang, kata pejabat itu. Termasuk mengembangkan Bank Tanah untuk memastikan awal yang cepat mengantisipasi perpindahan.

Dorongan oleh pemerintah Modi datang ketika India mencoba mendapatkan kembali kue keuntungan yang hilang setelah banyak perusahaan memilih negara seperti Vietnam sebagai tujuan alternatif, ketika Trump memulai perang dagangnya dengan Cina. Modi telah mencoba menopang investasi AS dan meningkatkan ikatan melalui pemotongan pajak perusahaan dan kesepakatan pertahanan senilai US$3 miliar.

"Namun selain memastikan tanah, air, dan saluran air kotor yang baik, perubahan terpenting yang perlu dilakukan India, yaitu memberikan jaminan jelas bahwa pemerintah tidak akan memperkenalkan amendemen pajak retrospektif," ujar Direktur Jenderal dan Kepala Eksekutif dari Federasi Eksportir India, Ajay Sahai.

 

***

 

Tak mau ketinggalan, Uni Eropa juga berencana mengurangi ketergantungan kepada pemasok Cina, tetapi belum mengambil langkah nyata. Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire, di antara para pejabat Eropa lainnya, mengingatkan bahwa Eropa perlu menghentikan ketergantungan kepada Cina.

Komisaris Perdagangan UE, Phil Hogan, baru-baru ini mengatakan bahwa bahkan sebelum pandemi yang membatalkan pertemuan tingkat tinggi tahun ini, negosiasi dengan Beijing telah menghasilkan sedikit kemajuan nyata dalam meningkatkan akses pasar untuk perusahaan-perusahaan Eropa. Pasalnya, upaya perusahaan-perusahaan Cina untuk meningkatkan daya saing serta Beijing yang mengejar kebijakan industri "Made in China 2025" untuk menjadi pemimpin dalam sektor manufaktur berteknologi tinggi, tentu membuat investor asing tak senang.

Integrasi perdagangan dengan Cina bertepatan dengan penurunan pangsa UE dalam ekspor manufaktur global dari 44% pada 2001, menjadi 35% pada 2018. Dalam rantai pasokan global, Cina mengekspor produk bernilai lebih tinggi ke UE, tetapi mengimpor lebih sedikit barang sebagai imbalan. "Jika Eropa tidak berfokus pada membangun daya saing industrinya sendiri, ia akan terus tergelincir dalam ekonomi global," tulis Peneliti Senior di Danish Institute for International Studies, Luke Patey, pada laman Foreign Policy.

Cina, kata Patey, bukan lagi tempat ideal untuk meraih pertumbuhan pendapatan tinggi bagi banyak perusahaan Eropa. Ia mencontohkan raksasa mobil Jerman, Volkswagen, Daimler, dan BMW. Mereka adalah beberapa investor Eropa terbesar di Cina. Menurut survei terbaru oleh sebuah perusahaan Jerman, empat dari setiap lima perusahaan besar mengandalkan pemasok Cina. Namun seiring berjalannya waktu, pesaing pabrikan Cina mereka, seperti Changan dan Geely, telah meraup pangsa pasar yang terus meningkat.

"Saya tidak berpikir peran Cina sebagai sumber utama manufaktur akan dihilangkan. Mereka akan terus demikian [menjadi manufaktur utama]. Mungkin pada tingkat yang agak lebih rendah, mungkin dalam industri tertentu kurang, dan akan ada perubahan. Namun secara keseluruhan, struktur akan bertahan," sebut Profesor Operasi, Informasi, dan Keputusan The Wharton School, Morris Cohen, kepada DW

Kondisi saat ini diperkirakan akan mendorong perusahaan melakukan diversifikasi jauh dari Cina. Targetnya ke negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina, karena mereka berupaya meminimalkan risiko dan melokalisasi rantai pasokan mereka. 

Flora Libra Yanti

 

 

143