Jakarta, Gatra.com – Wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Pasalnya eskalasi wabah corona belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Presiden Jokowi baru-baru ini menegaskan pelonggaran PSBB masih sebatas skenario, sementara keputusannya masih dalam kajian.
“Saya ingin tegaskan belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Karena jangan muncul di masyarakat bahwa pemerintah sudah mulai melonggarkan PSBB. Belum, belum ada kebijakan pelonggaran PSBB,” kata Jokowi dalam rapat terbatas yang disiarkan saluran YouTube Sekretariat Presiden, Senin (18/5).
Skenario pelonggaran PSBB menurutnya akan diterapkan pada waktu yang tepat. “Yang sedang kita siapkan ini memang baru sebatas rencana atau skenario pelonggaran yang akan diputuskan setelah ada timing yang tepat serta melihat data-data dan fakta di lapangan,” ujarnya.
Sebelumnya Jokowi sempat melontarkan pernyataan agar masyarakat hidup berdampingan dengan virus corona. Pernyataan tersebut mengundang berbagai interpretasi dan kontroversi dari banyak pihak. Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta mengatakan sebaiknya pesan presiden tentang masyarakat hidup berdampingan dengan virus tak perlu disampaikan, karena akan memunculkan persepsi yang berbeda di tengah masyarakat.
“Saya kutip pernyataan Pak Presiden melalui siaran akun YouTube Sekretariat Presiden bahwa: 'muncul keliru di masyarakat bahwa pemerintah mulai melonggarkan PSBB'. Pernyataan Pak Presiden tersebut seakan menyalahkan masyarakat yang dianggap keliru pahami wacana-wacana pemerintah. Mestinya yang disetop adalah wacana-wacana pemerintah, termasuk wacana presiden [hidup berdampingan dengan corona] di beberapa kesempatan yang kemudian malah jadi bahan olok-olok di media sosial,” ujar Sukamta dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Selasa (19/5).
Sukamta menyayangkan bila pernyataan presiden dianggap lelucon oleh kalangan netizen. Presiden seharusnya memeroleh masukan yang bijak dari para pembantu dan pihak yang ada di sekelilingnya. Anggota Komisi I DPR menyebutkan jika pemerintah melakukan relaksasi atau pelonggaran seharusnya itu diikuti dengan kajian yang mendalam, dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan evaluasi secara berkala.
“Ini kan akhirnya terkesan pemerintah buat kebijakan PSBB, daerah berusaha laksanakan dengan sungguh-sungguh tetapi malah pemerintah sendiri yang mengingkari dengan wacana-wacana pelonggaran. Perlu diingat pada 1 April 2020, presiden sampaikan mengapa kebijakan PSBB yang dipilih, bukan karantina wilayah karena alasan supaya ekonomi masyarakat bisa berjalan, juga dianggap PSBB ini paling sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia,” katanya.
Namun setelah PSBB berjalan di beberapa daerah, ditemukan banyak kegiatan ekonomi masyarakat terganggu. Bahkan daerah yang tidak diberlakukan PSBB juga terdampak secara ekonomi. Kebijakan PSBB yang diterapkan pemerintah menurutnya belum optimal dan terkesan “coba-coba”. Pasalnya kebijakan PSBB yang ditempuh pemerintah masih menyisakan dua masalah.
Pertama, PSBB tidak mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 karena per hari ini data penambahan positif Covid-19 belum menunjukkan kurva yang landai. Kedua, PSBB ternyata juga tidak mampu menyelamatkan ekonomi masyarakat yang selama ini menjadi dalil pemerintah menerapkan kebijakan PSBB. “Saya kira ini menunjukkan pemerintah tidak tahu mana yang prioritas untuk ditangani, penginnya semua bisa diatasi [kesehatan & ekonomi] tetapi malah enggak dapat dua-duanya,” ujarnya.
Legislator asal dapil Yogyakarta itu menilai wacana yang dikeluarkan pemerintah baik soal relaksasi PSBB dan berdamai dengan virus corona tidak didasarkan kepada data-data ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Dirinya menduga pemerintah sedang mengalami kebingungan karena setelah berjalan 2,5 bulan sejak kasus positif pertama diumumkan, Covid-19 telah menyebar merata ke seluruh provinsi dan hampir 400 kab/kota di Indonesia.
Skema penanganan menjadi lebih rumit karena kondisi sarpras dan SDM kesehatan di daerah tidak sama. Sementara anggaran penanganan diskenariokan hanya untuk 3-6 bulan. Hal itu dilihat dari skema bansos jaring pengaman seperti BLT Desa untuk durasi 3 bulan yang dialokasikan kepada 12,3 juta KK penerima manfaat sebesar Rp600.000 per bulan mulai dari April sampai Juni 2020.
“Dengan adanya wacana berupa skenario di bulan Juni atau Juli aktivitas masyarakat baik pendidikan dan ekonomi sudah mulai kembali normal, seakan pemerintah sudah lepas tanggung jawab untuk berikan bansos jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang terdampak. Jangan-jangan anggaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial memang sudah habis hingga bulan Juni, sehingga wacana pelonggaran sering dimunculkan,” ujarnya.
Menurut Sukamta jika pemerintah serius menjalankan skenario New Normal, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus dipastikan kurva perkembangan Covid-19 landai secara stabil sebagai hasil test swab yang dilakukan secara optimal dan penanganan kesehatan secara maksimal. Kedua, dipastikan seluruh masyarakat mengetahui protokol kesehatan yang harus dijalankan dengan senantiasa menjaga jarak, mengenakan masker dan rajin mencuci tangan.
Hal ketiga, dipastikan jumlah rumah sakit dengan sarpras ruang isolasinya berjumlah cukup untuk antisipasi lonjakan pasien yang mungkin terjadi jika dilakukan pelonggaran. Selanjutnya, pemerintah memastikan ketercukupan jumlah APD untuk tenaga medis dan masker untuk kebutuhan masyarakat.