Potensi pangan lokal dalam hadapi kelangkaan bahan pangan pokok besar sekali. Sayangnya, strategi, komitmen dan konsistensi memajukan pangan lokal belum optimal. Sebenarnya ketersediaan pangan lokal mampu menjawab efek buruk pandemi Covid-19 dalam rangka menciptakan ketahanan pangan nasional.
Pandemi Covid-19 membawa dunia ke jurang resesi ekonomi yang semakin dalam. Salah satunya adalah persoalan di sektor pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperingatkan soal ancaman krisis pangan dalam jangka panjang yang dipicu oleh virus Corona.
Pernyataan lembaga pangan dunia di bawah naungan PBB tersebut, menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar harus direspon dengan tepat oleh Indonesia.
"Jadi krisis pangan itu akan terjadi, karena FAO juga sudah mengimbau untuk melakukan warning," katanya dalam sebuah virtual meeting, Kamis (14/5)
Dengan adanya peringatan FAO tersebut, menurut Halim, Indonesia harus melakukan antisipasi. Masalah pangan menjadi perhatian karena pandemi Covid-19 belum pasti kapan berakhir. Sejumlah pengamat mengatakan akan berlangsung hingga setahun ke depan. Paling tidak sampai vaksin dan obatnya ditemukan.
Keadaan tidak menentu yang disertai dengan terhenti dan melambatnya jalur distribusi logistik global menjadi ancaman baru. FAO menilai kondisi tersebut akan membuat kegiatan impor terganggu karena pelaksanaan lockdown di sejumlah negara produsen pangan. Di samping itu, banyak negara bakal memprioritaskan kecukupan pasokan untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri terlebih dahulu, baru kemudian ke negara lain.
Halim menjelaskan bahwa di Indonesia pasti akan terjadi krisis, akibat dari pandemi Covid-19 tersebut. ‘’Akan terjadi kesulitan tenaga kerja, impor akan sulit karena semua negara akan berpikir untuk dirinya sendiri,’’ katanya.
‘’Itulah mengapa, Presiden secara mutlak menyatakan, bahwa kita harus terus berusaha untuk berdiri di atas kaki kita sendiri,’’ tambahnya.
Halim mengatakan bahwa Kementerian yang ia pimpin bersama Kementerian lembaga terkait terus mendorong kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di sektor pertanian berupaya memenuhi pangan dalam negeri. Beberapa hal yang dilakukan adalah ekstensifikasi pertanian di pedesaan dan melakukan cetak sawah baru dengan transmigrasi.
"Pemenuhan pangan sudah tidak bisa ditalangi lagi," pungkasnya.
Hati-hati Cetak Sawah Baru
Sebelumnya, dalam rangka mengantisipasi peringatan dari FAO soal risiko krisis pangan akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo telah meminta agar BUMN mencetak sawah baru.
Dalam akun media sosialnya, Senin (13/4), sang Presiden yang akrab disapa Jokowi tersebut menuliskan: ‘’FAO telah mengeluarkan peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Di dalam negeri, sejumlah langkah sudah kita ambil dan persiapkan sejak dini untuk memastikan ketahanan pangan di daerah-daerah selama pandemi. ‘’
Selain memastikan ketersediaan bahan-bahan pokok, Presiden menyatakan pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memberikan bantuan kebutuhan bahan pokok.
Dalam memasuki kemarau, Presiden meminta agar kebutuhan bahan pokok dipetakan,kemudian rantai pasok dan stok pangan yang ada di pasaran terus diawasi.
‘’Pastikan dalam supply chain petani mendapatkan perlindungan yang baik. Hindari praktik-praktik yang tak sehat dan harus menerapkan prinsip tata kelola yang baik.”
Terkait dengan membukaan lahan sawah baru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Presiden memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka persawahan baru. Sawah baru tersebut terutama di lahan gambut yang pada masa lalu pernah disiapkan, seluas 900.000 hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng).
‘’Sudah siap 300.000 hektar. Juga dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 hektar,’’ katanya.
Beberapa kementerian, di antaranya Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, menurut Airlangga, diminta berkonsentrasi menciptakan lumbung pangan di lokasi tersebut.
Rencana dari Istana Negara tersebut, kontan memunculkan wacana lama yang pernah menyita perhatian publik, yakni soal proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalteng pada era Orde Baru di tahun 1995. Proyek ambisius tersebut ternyata gagal dan memicu beberapa persoalan serius lingkungan hidup.
Infrastruktur kanal besar justru membuat lahan gambut kering dan kemudian memicu kebakaran serta bencana asap berulang kali saat musim kemarau panjang. Sementara itu di saat hujan wilayah itu dilanda banjir. Ketimbang membuat sawah di lahan gambut untuk memenuhi pasokan bahan pangan pokok, banyak kalangan justru menyarankan agar pemerintah mencari alternatif lain dengan mendorong kekuatan pangan lokal.
Pangan Lokal Menjawab Krisis
Inovasi pangan lokal menjadi salah satu jawaban untuk mewujudkan ketahanan pangan. Faktor ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan dalam konsep ketahanan pangan akan mudah dipenuhi apabila pengembangan pangan lokal dilakukan secara sistematis dan mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.
Peran bagian pengembangan dan penelitian (litbang) pangan di Kementerian terkait dan pemerintah daerah sangat besar dalam membangun kekuatan pangan Indonesia. Terutama terkait dengan kegiatan pasca panen untuk menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Kegiatan pasca panen tersebut meliputi penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan pemasarannya. Dengan demikian pangan lokal mudah dikonsumsi oleh masyarakat, mampu menggantikan pangan yang berbasis pada bahan-bahan pangan ekspor.
Terkait dengan keberadaan pangan lokal, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan melihat sumber pangan lokal sudah sangat beragam yang tersebar di berbagai daerah. ‘’Sayang industri olahannya belum maksimal,’’ katanya kepada Gatra Review.
Menurut Daniel, saat ini masyarakat masih memanfaatkan seperlunya saja dan volumenya sedikit. Idealnya industri olahan dari sumber pangan lokal memiliki efek berlipat ganda.
Wakil rakyat dari komisi yang membidangi soal pertanian dan pangan itu membandingkan jika olahan pangan lokal masih kalah jauh dari industri olahan berbahan baku gandum yang didatangkan secara impor. Dia melihat sejauh ini dukungan kebijakan pemerintah dan pihak swasta dalam industri pangan lokal seperti mocaf dari singkong atau ubi kayu, dan tepung sagu belum maksimal.
Daniel mencontohkan langkah pemerintah mencanangkan kegiatan Pengembangan Industri Pangan Lokal (PIPL) dan Pengembangan Pangan Pokok Lokal (P3L). Tujuan program ini antara lain mengembangkan usaha pengolahan pangan lokal, meningkatkan ketersediaan pangan lokal melalui peningkatan produksi tepung untuk bahan baku industri pangan, dan meningkatkan daya saing aneka olahan pangan lokal.
Akan tetapi program yang dilakukan sejak 2018 lalu itu belum berhasil mendorong industri pangan lokal. Dia menilai anggaran ke arah industrialisasi masih minim terutama dalam hal riset dan pengembangan. Belum lagi aspek marketingnya seperti branding, pengemasan dan riset pasarnya. Singkat kata, eksekusi dari program itu masih banyak kelemahannya.
Meskipun pengembangan pakan lokal masih compang-camping. Namun beberapa daerah dapat mendiversifikasi pangan khas daerahnya, misalnya Papua dan Maluku dengan sagu. Saat ini, tambah Daniel, Program Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan Korporasi (Pro Paktani) dengan melibatkan banyak pihak diharapkan mampu mendorong industri pangan bisa berkembang.
G.A. Guritno dan Drean Muhyil